TEMPO.CO, Jakarta - Layanan fintech terus berkembang dalam beberapa waktu terakhir, termasuk aplikasi pinjaman online atau pinjol. Namun, perkembangan tersebut disertai dengan ancaman online yang mengintai, khususnya dari pinjol ilegal.
Melihat perkembangan tersebut, Yeo Siang Tiong, General Manager Asia Tenggara di Kaspersky, mengingatkan tentang bagaimana ketergantungan masyarakat yang meningkat pada aplikasi dan internet. Secara tidak sadar, masyarakat juga telah membagikan banyak informasi pribadi secara online, seperti Personally Identifiable Information (PII).
“Ini termasuk nama, alamat, email, SSN, nomor pajak, tanggal lahir, catatan medis, catatan pendidikan, pekerjaan, dan masih banyak lagi,” ujar dia kepada Tempo, Senin, 23 Agustus 2021.
Menurut Yeo Siang Tiong, meskipun teknologi memungkinkan melakukan banyak aktivitas penting di tengah pandemi Covid-19, kenyataannya informasi pribadi juga dapat disalahgunakan dan bisa membahayakan akun online lainnya.
Sementara, sejak tahun lalu, Kaspersky melihat banyak pelanggaran data besar-besaran di Indonesia, dan bahkan Asia Tenggara, terhadap situs e-commerce, perusahaan telekomunikasi, database pemerintah dan banyak lagi. “Fenomena ini menunjukkan bahwa semua orang bisa menjadi sasaran,” kata Yeo Siang Tiong.
Selain itu, Laporan Risiko Keamanan TI Konsumen Kaspersky 2021 juga menunjukkan ada sebanyak 57 persen responden mengatakan mereka khawatir akan keamanan dan privasi terpengaruh oleh perangkat 'pintar' yang terhubung ke internet. Sementara 28 persen lainnya mengaku mengalami upaya peretasan akun online.
Melihat laporan-laporan tersebut, penting bagi pengguna untuk melihat data yang yang mereka bagikan secara online. “Itu yang terpenting ketika menggunakan berbagai aplikasi online. Dan menemukan cara untuk mengamankannya seketat mungkin,” tutur dia.
Beberapa cara, disebut Yeo Siang Tiong, perlu dilakukan untuk mengurangi seberapa banyak informasi pribadi pengguna yang tersedia di web dan kepada siapa. Dia menyarankan untuk menjaga privasi media sosial (usahakan untuk tidak bersifat publik).
Hindari mengungkapkan terlalu banyak informasi seperti tanggal lahir atau tempat kerja di bagian “About us” atau bio di profil media sosial. Matikan lokasi, pengenalan wajah, tombol 'interest', dan paparan iklan di media sosial.
“Gunakan kata sandi yang kuat. Kata sandi yang kuat adalah kata sandi yang sulit ditebak dan mencakup kombinasi huruf besar dan kecil ditambah angka dan simbol,” ujar dia.
Selain itu, dengan diterapkannya sistem kerja dari rumah, sebagai karyawan pengguna juga harus menghindari penyimpanan file pribadi di laptop atau ponsel yang digunakan untuk bekerja. Sangat mudah untuk memiliki folder pribadi di desktop yang berisi dokumen pribadi. Perlu diingat bahwa perangkat kerja bukan milik pengguna tapi perusahaan.
Disarankan juga agar berhenti berlangganan dari daftar email lama yang tidak digunakan. Hati-hati dengan perangkat Internet of Things (IoT) yang memantau kebiasaan pribadi, serta selalu memerhatikan Wi-Fi dan keamanan jaringan. Tingkatkan keamanan Wi-Fi dengan mengenkripsi jaringan. Jika Wi-Fi memerlukan kata sandi, itu adalah awal yang baik. Jika tidak, akses pengaturan router untuk mengubahnya.
“Kata sandi default untuk mengakses pengaturan router berpotensi menjadi tautan lemah di Wi-Fi dan keamanan jaringan.”
Yeo Siang Tiong juga menyarankan agar pengguna menggunakan fitur Otentikasi Dua Faktor di mana pun berada. Hal ini meningkatkan keamanan online yang meminta bentuk verifikasi ID pelengkap selain kata sandi. “Seperti kode SMS yang dikirim ke ponsel Anda, sidik jari, atau dongle/fob keamanan yang dapat Anda colokkan melalui USB,” kata dia.
Baca:
Indonesia Mau Bikin Kereta Cepat Sendiri, Kecepatan Maksimal 220-230 Km/jam