TEMPO.CO, Jakarta - Covid-19 memunculkan banyak pertanyaan, tidak saja di kalangan awam. Yang paling sering ditanyakan adalah, mengapa sudah vaksin masih kena Covid-19. Bahkan tak sedikit yang sudah menerima dua dosis vaksin tak kebal dari Covid-19.
Pertanyaan tersebut sudah banyak dijawab para ahli dan dokter, bahwa vaksin tidak mencegah seseorang tahan terhadap virus Covid-19, tapi akan memperingan gejala bila terinfeksi covid-19.
Menurut Ahli Imunolog Unair, Gatot Soegiarto seseorang sudah dua kali vaksin dan tetap kena Covid-19 adalah yang bisa saja terjadi. Ia menjelaskan bahwa varian yang menyerang merupakan varian baru sedangkan vaksin dibuat berdasarkan varian asal.
“Bisa saja (terkena), yang menyerang adalah varian baru sementara vaksin dibuat berdasarkan varian asal. Jadi apakah masih perlu vaksin lagi? Ya, bahkan mungkin perlu vaksin ulangan setiap jangka waktu beberapa bulan tertentu,” kata Gatot kepada Tempo.
Ia menambahkan, untuk jangka waktu vaksinasi ulang sekitar 9-12 bulan dengan vaksin baru yang dibuat berdasarkan varian yang dominan beredar di kontinen tertentu atau di dunia global secara umumn.
“Seperti halnya vaksin influenza yang harus diperbaharui setiap tahun sesuai strain virus influenza yang beredar di belahan bumi Utara dan Selatan,” ungkap Gatot.
Menyoal efektivitas vaksin, Gatot mengutip pernyataan Iris rengganis Ketua Tim Advokasi Pelaksanaan Vaksinasi PB IDI, masalah varian baru seperti Delta atau yang lainnya saling berkejaran dengan pelaksanaan vaksinasi dan ketersediaan vaksin. “ Menggunakan vaksin platform berbeda dari vaksin yang awal akan meningkatkan efektivitas terhadap varian baru,”ujarnya.
“Asalkan 2 kali platform yang awal harus dilengkapi dulu, agar sesuai evidence based penelitian awalnya yaitu lengkap diberikan 2 kali suntikan,” lanjutnya.
Pemberian vaksin jenis berbeda hanya diberikan kepada nakes, sedangkan untuk masyarakat umum tetap menggunakan vaksin awal, misalnya sinovac. Hal tersebut juga menambah kekebalan dibanding dua kali suntikan.
“Sebenarnya bisa menggunakan platform yang sama, misalnya mengulang 3 kali, Sinovac-Sinovac-Sinovac. Pasti antibodi akan lebih tinggi dibandingkan yang 2 kali suntik,” terang Gatot mengutip pernyataan Iris saat Seminar Sosialisasi Vaksin Booster 14 Juli lalu.
Gatot menambahkan, masalah yang dihadapi adalah varian mutan sehingga harus memikirkan bahwa mutasi terus berjalan. Ia mengatakan “Kita harus memikirkan bahwa mutasi jalan terus, sehingga jangan sampai antibodi tinggi tetapi hanya untuk virus varian awal saja.”
Berdasarkan hal tersebut para ahli memutuskan penggunaan mixing platform. Berdasarkan pemikiran ahli Moderna masih bisa diharapkan efektif untuk varian Delta. “Untuk nakes sangat bijaksana jika hal tersebut diberikan,” ujar Gatot.
Ahli imunolog tersebut juga memberikan keterangan berdasarkan pengalaman negara lain yang telah menggunakan mixing platform. Ia mengutip bahwa menggunakan vaksin Pfizer sebagai suntikan booster setelah menyelesaikan Sinopharm 2 kali tidak membahayakan. “Selain itu dengan booster ternyata menurunkan 2 kali lipat angka infeksi dan kematian.
Berkaca pengalaman dari EUA: Indonesia menetapkan Sinovac dua kali plus booster ke-3 dengan Moderna,” ungkapnya.
Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, efikasi Sinovac 65,3% dan melemah setelah sekitar 6 bulan. Sedangkan vaksin Moderna, berdasarkan data efikasi 94,1%, ditambah data efektif terhadap varian Delta, ungkap Gatot menjelaskan. Ia menambahkan, “Indonesia mendapat hibah sebanyak 4 juta dosis Modena dari AS dan BPOM telah menyetujui izin darurat Moderna.”
TATA FERLIANA
Baca juga: Ahli Imunologi Unair Jelaskan Alasan Tenaga Kesehatan Perlu Vaksin Ketiga