TEMPO.CO, Bandung - Indonesia memulai babak baru penggunaan bahan bakar nabati untuk pesawat terbang. Bioavtur hasil riset tim Institut Teknologi Bandung (ITB) dan PT Pertamina akan diuji terbang perdana oleh pesawat tes khusus CN235-220 milik PT Dirgantara Indonesia.
“Rencana hari Rabu besok akan uji coba terbang,” kata Iman Kartolaksono Reksowardojo, dosen periset dari Laboratorium Motor Bakar dan Sistem Propulsi di Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Selasa 7 September 2021.
Bioavtur itu, Iman menerangkan, ada dua jenis, yaitu campuran 2 persen dan 2,4 persen bahan nabati dengan metode co-processing di kilang Pertamina dengan kode J 2.0 dan J 2.4. Bahan nabati yang dicampur berupa minyak dari inti biji kelapa sawit. Pembuatnya yaitu tim dari Pusat Rekayasa Katalisis pimpinan Profesor Subagyo yang menghasilkan katalis Merah Putih bersama Pertamina.
“Bioavtur ini dibuat sama persis dengan bahan bakar pesawat sebelumnya,” ujar Iman sambil menambahkan standar mengacu pada keamanan pesawat terbang.
Sebelum uji terbang, bioavtur telah diuji di darat pada mesin pesawat (ground test). Rangkaian ujinya dimulai pada Desember 2020 dan Mei 2021 pada pesawat Boeing 737 di Garuda Maintenance Facility. “Hasilnya baik, kita bisa lakukan itu karena jumlah bioavtur-nya besar,” kata dia.
Uji bioavtur ketiga pada pesawat di darat dilakukan Senin, 6 September 2021, di hanggar PT Dirgantara Indonesia. Pesawat yang digunakan yaitu CN235 khusus untuk berbagai uji coba komponen seperti roda juga bahan bakar. Pengujian bioavtur dilakukan dengan beragam kondisi pesawat ketika terbang, misalnya saat akselerasi dinaikkan tiba-tiba.
“Apakah ada ada flame out atau mesin mati? apakah ada batuk-batuk? ternyata tidak,” kata Iman.
Dari hasil yang dinilai baik itu, pengujian akan berlanjut ke kondisi yang sesungguhnya ketika terbang di angkasa. Rencananya dimulai Rabu, 8 September 2021. “Rencana terbang di ketinggian 10 ribu, 16 ribu kaki atau 3000 sampai hampir 5000 meter,” ujar Iman.
Sepekan kemudian, 15 September 2021, direncanakan pengujian seremoni bersama menteri terkait dengan tujuan terbang Bandara Internasional Sukarno-Hatta di Cengkareng, Jakarta. “Ini tonggak penting perkembangan bahan bakar nabati di Indonesia, kita masuk ke transportasi udara,” ujarnya.
Pesawat CN235-220 MPA buatan PT Dirgantara Indonesia pesanan Senegal Air Force diterbangkan ke Senegal dari Bandara Husein Sastranegara di Bandung, Jawa Barat, 19 Maret 2021. TEMPO/Prima Mulia
Menurut dosen dari kelompok keahlian Konversi Energi itu, tren pesawat terbang dunia akan mengarah ke penggunaan bioavtur. Maskapai penerbangan Eropa malah disebutnya telah lebih dulu menggunakan bioavtur. Penelitinya pun mengembangkan dengan beragam cara dan bahan mentah.
“Ada yang pakai bekas minyak goreng,” kata Iman. Target tertingginya bahan nabati bisa dicampur hingga 50 persen.
Penggunaan nabati pada bahan bakar bertujuan mengurangi emisi dan polusi dari gas karbondioksida (CO2). Amerika Serikat dan negara maju lain, kata Iman, bersiap menghitung berapa karbon yang dihasilkan pesawat yang mendarat diwilayahnya untuk dikenai pajak. “Kalau nabati tidak kena pajak karena sumber energi baru dan terbarukan,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Iman, harga bioavtur akan lebih mahal daripada bahan bakar fosil. Alasannya karena bahan mentahnya harus ditanam dulu hingga panen, sementara bahan bakar minyak hanya tinggal ditambang.
Baca juga:
Berita Terkini Penyebaran Covid-19 Varian Mu: Hampir 50 Negara dan Wilayah