TEMPO.CO, Jakarta - Selama pandemi Covid-19, dokter mencatat bahwa pasien tertentu sangat berisiko tinggi terkena penyakit parah, bahkan bisa sampai meninggal akibat infeksi SARS-CoV-2. Diabetes tipe 2—kondisi yang mempengaruhi lebih dari 10 persen populasi Amerika Serikat—adalah salah satu faktor risiko utama penyakit Covid-19 yang parah.
Studi baru yang dilakukan oleh para peneliti dari Departments of Surgery and Microbiology and Immunology, Michigan Medicine, Amerika, mengungkap mengapa hal itu bisa terjadi.
James Melvin, Katherine Gallagher, dan koleganya memutuskan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan antara enzim dan peradangan tak terkendali yang mereka saksikan secara langsung pada pasien Covid-19 di ICU.
“Pelakunya tampaknya enzim yang disebut SETDB2. Enzim yang sama ini terlibat dalam luka inflamasi yang tidak dapat disembuhkan dan ditemukan pada penderita diabetes,” ujar para peneliti, seperti dikutip Medical Xpress, Selasa, 7 September 2021.
Dengan model tikus yang terinfeksi Covid-19, mereka menemukan bahwa SETDB2 menurun pada sel-sel kekebalan yang terlibat dalam respons inflamasi, yang disebut makrofag, pada tikus terinfeksi diabetes. Mereka kemudian melihat hal yang sama pada makrofag monosit dalam darah dari penderita diabetes dan Covid-19 yang parah.
"Kami pikir kami memiliki alasan mengapa pasien ini mengembangkan badai sitokin,” kata Melvin yeng penelitiannya telah diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences itu.
Pada model tikus dan manusia, Melvin dan Gallagher mencatat saat SETDB2 turun, peradangan meningkat. Selain itu, mereka mengungkapkan bahwa jalur yang dikenal sebagai JAK1/STAT3 mengatur SETDB2 dalam makrofag selama infeksi virus corona.
Secara bersama-sama, hasilnya menunjukkan jalur terapi potensial. Temuan sebelumnya dari laboratorium menunjukkan bahwa interferon-- sitokin yang penting untuk kekebalan virus--meningkatkan SETDB2 sebagai respons terhadap penyembuhan luka. Dalam studi barunya, mereka menemukan serum darah dari pasien di ICU dengan diabetes dan Covid-19 parah telah mengurangi tingkat interferon-beta daripada pasien tanpa diabetes.
Menurut Gallagher, interferon telah dipelajari selama pandemi sebagai terapi potensial, dengan upaya bolak-balik antara mencoba meningkatkan atau menurunkan kadarnya. "Perasaan saya adalah bahwa kemanjurannya sebagai terapi akan menjadi spesifik bagi pasiennya,” tutur Gallagher.
Untuk menguji ini, tim peneliti memberikan interferon beta pada tikus diabetes yang terinfeksi virus corona dan melihat bahwa mereka mampu meningkatkan SETDB2, serta menurunkan sitokin inflamasi.
"Kami mencoba memahami apa yang mengontrol SETDB2, semacam pengatur utama dari banyak sitokin inflamasi yang Anda dengar meningkat pada Covid-19, seperti IL-1B, TNFalpha, dan IL- 6,” kata Gallagher algi.
Melvin dan Gallagher berharap temuannya akan menginformasikan uji klinis interferon yang sedang berlangsung atau komponen hilir jalur lainnya, termasuk target epigenetik untuk Covid-19. Pekerjaan mereka juga menyoroti kebutuhan untuk memahami waktu untuk menyesuaikan penerapannya pada kondisi mendasar pasien, terutama pasien dengan diabetes.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa mungkin jika kami dapat menargetkan pasien diabetes dengan interferon, terutama pada awal infeksi mereka, itu sebenarnya dapat membuat perbedaan besar," ujar Melvin.
MEDICAL XPRESS | PNAS
Baca:
Survei Penerima Vaksin Moderna: Efek Samping Suntikan Kedua Pulih Tiga Hari