TEMPO.CO, Jakarta - Sleman kini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di DIY. Setelah kampus, wilayah di utara Kota Yogya itu kini banyak dibangun hotel, pusat perbelanjaan, apartemen untuk mahasiswa hingga permukiman elite.
Pembangunan yang masif tersebut memunculkan fenomena gentrifikasi, yaitu perubahan alih fungsi lahan. Gentrifikasi merupakan komodifikasi makna dari ruang perkotaan yang cenderung menyediakan kebutuhan kelas menengah.
Akibatnya, harga tanah melambung dan menyebabkan konflik sosial dan budaya. Masyarakat yang rentan di dalamnya seringkali tidak diperhatikan, terutama fenomena displacement atau keterusiran yang menyertai gentrifikasi tersebut.
Dilansir dari laman ugm.ac.id, permasalahan ini kemudian direspons oleh Zahra Auliani Fauziatunnisa dan Akhmad Khanif (Fakultas Ilmu Budaya) serta Benyamin (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) untuk mengungkap fenomena gentrifikasi dari sudut pandang korban displacement di Kabupaten Sleman, khususnya di Padukuhan Karangwuni, Kecamatan Depok.
Dalam hasil penelitiannya, mereka menemukan bahwa fenomena keterusiran tidak hanya terjadi pada tataran fisik semata yang terpaksa pindah karena tanahnya digunakan untuk pembangunan. Tetapi juga sekaligus keterusiran secara sosial, yaitu hilangnya keterikatan masyarakat dengan daerahnya akibat perubahan sosial budaya pascapembangunan.
Pembangunan apartemen di daerah yang mereka teliti juga menyumbang dampak yang cukup besar kepada masyarakat dimana menyebabkan harga tanah melambung yang disertai dengan krisis air, polusi suara, bahkan konflik sosial perpecahan antara masyarakat Karangwuni juga sempat terjadi pada saat pembangunan apartemen.