TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi yang dilakukan di Cooperative Institute for Research in the Atmosphere (CIRA) berhasil mendeteksi sejumlah fenomena malam memukau di laut yang disebut milky sea. Studi itu membangkitkan data pengamatan dari jaringan satelit cuaca orbit polar milik National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Amerika Serikat, sepanjang periode 2012-2021.
Studi dan fenomena yang dideteksinya itu diungkap NOAA di akun media sosial Instagram lewat unggahan 31 Juli 2021. Bersamanya adalah foto deteksi milky sea dari satelit yang dimaksud di Samudera Hindia sebelah selatan Pulau Jawa. Luasannya diperkirakan sampai 100 ribu kilometer persegi saat terbentuk pada 2, 3 dan 4 Agustus 2019 lalu.
“Sekarang kita punya cara untuk secara proaktif mengidentifikasi area-area kandidat dari milky sea,” kata Steve Miller, peneliti senior di Colorado State University dan ketua tim yang menuliskan hasil studi itu di Scientific Reports terbit 29 Juli 2021.
Menurutnya, obrservasi cepat terhadap fenomena tersebut bisa membantu menjawab beberapa misteri yang melingkupi setiap kejadian penampakan cahaya bak air susu di tengah lautan ini. Termasuk bagaimana dan kenapa mereka terbentuk serta kenapa langka. “Kami benar-benar ingin bisa ke satu lokasinya terbentuk lalu mengambil sampel dan memahami komposisi, mekanisme pembentukannya maupun efek perilakunya dalam ekosistem laut,” kata Miller.
Menjadi legenda bagi para pelaut selama berabad-abad, milky sea adalah bentuk langka dari bioluminescence di laut. Teknologi satelit kemudian mengidentifikasi kalau pancaran cahaya lemah dari laut saat malam tersebut—begitu lemahnya hingga bisa dikaburkan oleh terang dari Bulan—bukanlah tanda kemunculan monster laut ataupun putri duyung seperti yang pernah dipercayai.
Baca Juga:
Diduga, sumber fenomena ini adalah reaksi kimia oleh jenis bakteri Vibrio Harveyi yang bisa bercahaya saat malam. Mereka yang menyebabkan permukaan laut malam seperti bercahaya keputihan yang tetap, seragam, dan meluas. Para pelaut dari abad ke abad telah membandingkan kecerahan dari kilauan itu dengan penampakan hamparan salju yang terbentang ke seluruh horizon di bawah langit malam yang gelap.
Studi oleh Miller dan timnya mendapati fenomena tumpahan air susu di laut itu paling sering didapati di perairan Samudera Hindia dan sekitar Indonesia sepanjang 200 tahun ke belakang. Mereka kemudian mencari lebih dalam di kawasan itu menggunakan bangkitan data instrumen satelit yang lebih baru yang bisa mengurai sebuah cahaya ke dalam perubahan-perubahan di dalamnya yang lebih detail.
Dengan instrumen itu mereka mengeliminasi terang cahaya malam dari Bulan dan melacak kilau lemah dari lautan. Hasilnya, Miller dan timnya mengidentifikasi selusin kejadian milky sea antara 2012-2021.
Yang terbesar mereka dapati terjadi di selatan Jawa pada 2009, yakni pada 26 Juli hingga 9 Agustus. Citra satelit mengkonfirmasi laut bercahaya saat itu di luasan lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Diperkirakan, jumlah bakteri yang terlibat dalam fenomena itu melampaui 10 sektiliun (1 sektiliun setara 1.000 triliun).
Milky sea sangat langka dan hampir tidak mungkin ditemukan tanpa instrumen khusus bagi para ilmuwan untuk mendeteksi cahayanya, yang 100 juta kali lebih lemah daripada cahaya siang yang bisa dilihat satelit. Terbukti sistem pemantauan satelit oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional pun belum pernah mendeteksinya. Saat ditanya perihal fenomena ini, Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin tidak tahu dan lembaga yang dipimpinnya itu belum pernah menelitinya.
EOS, NOAA
Baca juga:
Ekspedisi Indonesia Timur 2021 LIPI Temukan Ombak-ombak di Bawah Laut