TEMPO.CO, Jakarta - Vaksin Covid-19 Johnson & Johnson (Janssen) dan Cansino hanya disuntikkan satu dosis saja, berbeda dengan AstraZeneca dan Sputnik V yang dua suntikan. Padahal secara metode, keempat vaksin yang sudah beredar di beberapa negara itu menggunakan metode yang sama, yaitu viral vector.
Dokter spesialis patologi klinis dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Tonang Dwi Ardyanto, menjelaskan bagaimana cara kerja dari vaksin tersebut. Menurutnya, DNA protein S dari virus SARS-CoV-2 dititipkan sedemikian rupa dalam virus yang menjadi vektor pembawa. Secara bersama-sama mereka kemudian dimasukkan ke dalam tubuh penerima vaksin dan virus vektor akan 'menginfeksi', sehingga ditangkap oleh sel-sel sistem imunitas bawaan.
“Tubuh merespons protein S tersebut, membentuk antibodi dan sel memori,” ujar dia melalui pesan WhatsApp, Senin 13 September 2021.
Virus vektor sudah dihilangkan kemampuan replikasinya, sehingga sekali dimasukkan, segera ditangkap sel imun bawaan tanpa ada aktivitas lagi. Virus tidak bisa berkembang biak dalam tubuh manusia penerima vaksin, sama seperti vaksin tipe Inactivated Whole Virus. “itu sebab pemberiannya minimal dua kali, bisa lebih,” katanya lagi.
Dosen tetap di UNS itu melanjutkan, pada vaksin viral vector, ada tipe lain yang sifat replikasinya masih tetap ada. Tipe ini adalah variasi dari Live Attenuated Virus Vaccine, artinya masih tetap bisa bereplikasi dalam tubuh.
Tipe-tipe inilah yang paling mendekati infeksi alami, sehingga cukup diberikan sekali, seperti J&J dan Cansino. Tipe Live Attenuated ini biasanya baru dibuat setelah dianggap risiko terbentuknya mutasi signifikan sudah sangat menurun. “Keempat vaksin yang disebut di awal tadi termasuk tipe viral vector yang non-replicating. Maka seharusnya tidak cukup bila hanya satu kali pemberian,” tutur Tonang.
Tapi, mengapa berbeda, J&J dan Cansino cukup satu dosis sedang AstraZeneca dan Sputnik dua dosis? Menurut Tonang, perbedaannya ada pada jenis virus vektor yang digunakan. Pada AstraZeneca, yang digunakan adalah adenovirus yang biasanya menginfeksi simpanse. “Setelah disuntikkan, tubuh manusia membentuk antibodi terhadap vaksin Covid-nya, tapi tidak banyak bereaksi terhadap virus vektornya,” ujar dia.
Sementara pada J&J dan Cansino, virus vektornya adalah adenovirus yang biasa menginfeksi pada manusia tapi ringan. Ketika menjadi vektor, maka tubuh membentuk antibodi terhadap vaksin virus Covid-19 yang dititipkan, maupun terhadap virus yang membawanya.
Jika nanti diberikan lagi vaksin yang sama, Tonang yang merupakan epidemiolog itu menambahkan, virus vektor tersebut akan "ditangkap" oleh antibodi yang sudah terbentuk. “Maka virus vektor tidak bisa menjalankan tugasnya membawa vaksin Covid.”
Sedangkan pada Sputnik, juga menggunakan adenovirus yang biasa menginfeksi manusia. Tapi sengaja dibuat dua versi vaksin, strain virus vektor pada dosis dua sengaja dibedakan dengan dosis pertama. Maka diharapkan, virus vektor tidak ditangkap antibodi yang sudah terbentuk pada tubuh penerima vaksin.
“Itulah mengapa ada beda pada J&J dan Cansino hanya diberikan sebagai dosis tunggal,” tutur Tonang lagi.
Meski hanya diberikan satu kali, Tonang berujar, kedua jenis vaksin Covid-19 itu mengklaim bisa memberikan perlindungan yang cukup. Itu laporan uji klinis, nanti akan dinilai efektivitas sebenarnya saat mulai digunakan di lapangan.