TEMPO.CO, Malang — Polemik antara Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan kelompok penggiat lingkungan Walhi Jawa Timur dinilai mudah diselesaikan andai keduanya bisa bertemu dan duduk bersama. Seperti diketahui, keduanya berselisih mengenai proyek wisata dalam kawasan TNBTS.
Ketua Forum Ekowisata Jawa Timur (East Java Ecotourisme Forum) Agus Wiyono memberi penilaiannya tersebut, Selasa pagi, 14 September 2021. Tentang perubahan zona pemanfaatan dalam kawasan TNBTS menjadi ruang publik dan ruang usaha, menurut Agus, apa yang dikerjakan TNBTS tidak salah.
Dia menuturkan, TNBTS menjalankan instruksi dari Jakarta untuk mewujudkan program nasional 10 Destinasi Pariwisata Prioritas atau acap disebut “10 Bali Baru” yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 2015. Program ini pun sejatinya menindaklanjuti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Kepariwisataan Nasional.
Hanya, dia menambahkan, model pendekatan formal oleh TNBTS selama ini harus disertai dengan pendekatan informal dan kultural. Agus berharap semua elemen masyarakat di desa penyangga diajak berembuk jika TNBTS menggelar konsultasi publik. Tidak hanya mengajak segelintir orang, seperti elite desa dan unsur dinas kabupaten terkait.
“Jangan ada perubahan zonasi yang tahu orang Jakarta dulu, bukan warga di desa-desa penyangga. Padahal, nanti merekalah yang pertama kali merasakan dampaknya,” ujar Agus kepada TEMPO.CO.
Kepada Walhi, Agus juga mengatakan tak ada yang keliru dari kritik yang disampaikannya atas perubahan zonasi itu. Untuk Walhi, Agus menekankan, investor yang telah mendapat izin usaha penyediaan sarana wisata alam atau IUPSWA di dalam kawasan TNBTS tidak perlu lagi dipersoalkan.
Walhi, menurutnya, tinggal mengawasi supaya investor benar-benar menjalankan kaidah-kaidah lingkungan dalam pengembangan pariwisata. Misalkan, investor dilarang menebang pohon-pohon besar atau land cutting. Walhi juga berhak mengawasi investor dan TNBTS supaya kedua pihak bersungguh-sungguh mematuhi kaidah-kaidah pengolahan sampah hingga tercapai nol limbah atau zero waste.
“Teman-teman Walhi memang berhak dan bahkan wajib mengontrol investor untuk menjalankan metode pengelolaan wisata berbasis lingkungan,” kata Agus.
Adapun catatan khusus dari Forum Ekowisata Jawa Timur diberikan kepada TNBTS untuk mengumumkan secara terbuka lokasi-lokasi proyek wisata yang ditawarkan ke publik. Sampai sekarang Agus mengaku buta di mana saja lokasi wisata baru dan siapa saja investornya kecuali PT Winuta Alam Indah (PT WAI). Itupun dia tahu dari kehebohan pembukaan lahan oleh PT WAI di Blok Jemplang melalui media sosial dan pemberitaan media massa.
Selain itu, Agus menyampaikan satu hal lagi yang perlu diperhatikan betul oleh TNBTS dan PT WAI, yaitu pelibatan aktif masyarakat. Caranya, PT WAI memperhatikan pendekatan “ramah masyarakat” untuk jangka panjang. "Jangan cuma menjadikan masyarakat sebagai buruh, tapi jadikanlah mereka sebagai pemilik," katanya menunjuk mekanisme porsi saham melalui badan usaha milik desa (BUMDes).
Kepala Desa Ngadas Mujianto sangat setuju warganya dilibatkan dalam proyek wisata dalam kawasan. Mereka ingin pelibatan masyarakat berlangsung dalam jangka panjang, seperti yang disampaikan Agus.
Mujianto tidak ingin Desa Ngadas, desa tertinggi di Kabupaten Malang, hanya jadi lintasan wisatawan menuju Gunung Bromo dan Gunung Semeru. “Dengan adanya pembangunan wisata di Jemplang, harapan masyarakat dan pelaku wisata ada poin khusus yang bisa menarik wisatawan sehingga warga dan pelaku wisata di desa kami bisa merasakan kue pariwisata,” kata Mujianto.
Lahan yang sudah dibersihkan investor untuk proyek wisata dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Kredit: Dokumentasi Walhi Jatim.
Kata dia, Ngadas sudah bercita-cita mengembangkan diri sebagai desa wisata adat sejak 2012. Maka itu mereka sangat membutuhkan dukungan Balai Besar TNBTS dan investor.
Sebelumnya, dalam sepekan terakhir, proyek pembangunan wisata dalam kawasan TNBTS, khususnya di Blok Jemplang, dikritik Walhi. Kelompok ini curiga proyek wisata tersebut hanya wisata buatan “betonisasi” yang mengabaikan prinsip-prinsip konservasi dan melukai kebudayaan Tengger.
Karena itu, Walhi meminta Balai Besar TNBTS membuka dokumen Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau AMDAL pembangunan sarana dan prasarana wisata alam baru dalam kawasan TNBTS. Menjawabnya, Pelaksana tugas Kepala Balai Besar TNBTS Novita Kusuma Wardani hanya memastikan pelaksanaan proyek wisata Jemplang tetap berpijak pada kaidah-kaidah konservasi dan menghormati kebudayaan Tengger, serta memenuhi prosedur perizinan yang berlaku.
Baca juga:
Sultan Tutup 14 Penambangan Pasir Liar di Merapi, 8 Ada di Sultan Ground