TEMPO.CO, Bandung - Simulasi dan pemeriksaan jalur evakuasi tsunami di dermaga Tamperan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, pada Sabtu akhir pekan lalu, menimbulkan banyak pertanyaan warga. Acara itu melibatkan BMKG, Kementerian Sosial, dan pemerintah daerah setempat.
“Pada ribut kenapa BMKG adakan drill (latihan) tsunami di Pacitan,” kata Daryono, Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Selasa 14 September 2021.
Daryono membeberkan alasan latihan kesiagaan gempa dan tsunami itu berdasarkan fakta kerawanan dan sejarahnya. Pacitan disebutnya merupakan daerah yang berhadapan dengan zona sumber gempa besar atau megathrust.
Berdasarkan hasil pemantauan BMKG terhadap aktivitas kegempaan sejak 2008, di lautan wilayah selatan Pacitan beberapa kali terbentuk cluster atau kumpulan kegempaan aktif meskipun tidak diakhiri dengan terjadinya gempa besar. Wilayah selatan Pacitan, kata Daryono, merupakan bagian dari zona aktif gempa di Jawa Timur yang mengalami peningkatan aktivitas kegempaan.
“Di wilayah ini pada beberapa tahun terakhir sering terjadi aktivitas gempa signifikan yang guncangannya dirasakan masyarakat,” ujarnya
Berdasarkan hasil kajian, gempa dari lautan selatan Pacitan berpotensi berkekuatan hingga magnitudo 8,7. Ditambah data-data lain, BMKG melakukan pemodelan yang dipakai untuk skenario gempa tsunami, mitigasi, dan penyelamatan diri warga.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, potensi tsunami di Pantai Pacitan setinggi 28 meter dengan perkiraan waktu tiba sekitar 29 menit. “Adapun tinggi genangan di darat berkisar sekitar 15-16 meter dengan potensi jarak genangan mencapai 4-6 kilometer dari bibir pantai," katanya di laman BMKG, Sabtu 11 September 2021.
Sejarah kelam tsunami di Teluk Pacitan, tercatat kejadiannya pada 4 Januari 1840, kemudian 20 Oktober 1859, lalu gempa besar pada 27 September 1937 berskala intensitas VIII-IX MMI menyebabkan 2.200 rumah roboh dan banyak orang meninggal.
Terkait bahaya tsunami, Daryono menjelaskan, kondisi alam Pantai Pacitan yang berbentuk teluk dinilai lebih berbahaya. Alasannya karena tsunami yang masuk teluk akan terakumulasi energinya. “Tsunami yang masuk ke teluk gelombangnya berkumpul dan terjebak sehingga tinggi tsunami meningkat,” katanya.
Pada kondisi pantai teluk yang landai, tsunami bisa lebih jauh melanda daratan. Upaya mencegah korban ketika muncul tsunami seperti masyarakat memahami konsep evakuasi mandiri. Konsep itu menurutnya terbukti efektif mampu menyelamatkan masyarakat di Pulau Simeulue sejak ratusan tahun lalu dalam kisah “smong”.
Tindakan warga pesisir ketika terjadi gempa kuat, saat itu juga harus segera pergi menjauh dari pantai. Jalur evakuasi warga harus disiapkan dan rambunya terpasang permanen. Masyarakat juga, Daryono menambahkan, jangan abai terhadap peringatan dini tsunami dari BMKG.
“Masyarakat harus memiliki sikap swasadar informasi gempa dan peringatan dini tsunami serta memiliki respon yang cepat untuk segera melakukan evakuasi, karena golden time yang cukup singkat,” kata Daryono.
Pada kondisi sebagian warga terlambat mengetahui adanya peringatan tsunami, disarankan melakukan evakuasi vertikal secepatnya. “Meskipun harus memanjat pohon, bangunan tower yang tinggi, atau memanjat bangunan tinggi lainnya yang terdekat,” katanya.
Selain warga, pemerintah daerah menurutnya juga harus sigap menanggapi peringatan tsunami. Selanjutnya mengaktivasi sirine untuk perintah evakuasi masyarakat pesisir agar segera menjauh dari pantai jika terjadi gempa berpotensi tsunami.