TEMPO.CO, Jakarta - Plasma konvalesen saat ini dijadikan salah satu terapi untuk pasien Covid-19 di Indonesia. Namun, Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Bidang Penelitian Translasional, David Handojo Muljono, menjelaskan bahwa terapi tersebut sebenarnya masih dalam proses uji klinis.
“Di Indonesia kita uji klinis dengan waktu sampai akhir tahun ini. Periode 1 Oktober 2020-31 Desember 2021,” ujar dia dalam acara webinar nasional evaluasi gerakan nasional pendonor plasma konvalesen, Selasa, 21 September 2021.
Plasma konvalesen adalah plasma darah yang diambil dari pasien yang didiagnosa Covid-19 dan sudah 14 hari dinyatakan sembuh dari infeksi yang ditandai pemeriksaan swab menggunakan RT-PCR sebanyak dua kali dengan hasil negatif. Penggunaan terapi ini dilatarbelakangi dugaan plasma pasien yang telah sembuh dari Covid-19 memilik efek terapeutik karena memiliki antibodi terhadap SARS-CoV-2.
Uji klinis dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) melalui Pusat Litbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan. Pengujiannya bekerja sama dengan LBM Eijkman, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Palang Merah Indonesia (PMI), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Saat ini, David yang diangkat sebagai honorary profesor oleh Faculty of Medicine and Health, University of Sydney, Australia itu, melanjutkan, uji klinik yang dilakukan adalah fase II/ III, multisenter, acak, terbuka pada pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit di Indonesia. “Tercatat ada 25 rumah sakit di Indonesia sebagai peserta penelitian uji klinis. Ini uji klinis besar,” kata dia.
Subjek penelitian terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapatkan tambahan terapi plasma konvalesen (kelompok terapi) dengan kelompok pembanding (kontrol) yang diterapi sesuai standar perawatan pasien Covid-19.
Sementara alokasi terhadap kelompok terapi dan kelompok kontrol adalah 1:1, dan akan menilai luaran (outcome) menyeluruh (mortal dan non-mortal). “Penilaiannya kami sudah menggunakan standar Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, dan masih berjalan,” tutur David.
Jika melihat riwayatnya, plasma konvalesen telah digunakan atau dicoba untuk penanganan Flu Spanyol (1908), termasuk SARS, MERS, EBOLA, H5N1 influenza. Studi untuk pengobatan Covid-19 yang sudah dilakukan sebelumnya, kata David, cukup aman dan tidak ada efek samping.
Namun, menurut David yang meraih gelar PhD di Jichi Medical University, Jepang itu, penggunaannya dilakukan dalam skala kecil, sporadik, tanpa indikasi yang jelas, tanpa protokol baik jadwal, dosis dan lainnya.
Sementara Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) dan beberapa regulasi di berbagai negara, menilai terapi ini masih belum menjadi standar pengobatan, karena belum cukup data. “Penggunaan keadaan darurat di beberapa negara, serta menganjurkan dan menantikan hasil uji klinis,” ujar David.
Baca:
612 Pasien Covid-19 Antre Plasma Konvalesen di PMI Kota Bandung