TEMPO.CO, Jakarta - Mengapa masyarakat begitu antusias terhadap teknologi ponsel layar lipat ini? Padahal smartphone dengan layar lipat tidak bisa sepenuhnya menggunakan kaca pada bagian layar, sehingga risikonya lebih tinggi.
Jauh hari sebelum kehadiran ponsel dengan sistem operasi Android atau iOS menguasai pasal dunia, masyarakat penggemar gadget sudah tidak asing dengan handphone yang dapat dilipat. Motorola StarTAC adalah salah satu leluhur ponsel lipat yang kemudian dianut oleh vendor-vendor lain seperti Nokia, BlackBerry, dan juga Samsung.
Meski Samsung masih menerapkan teknologi ponsel lipat di seri GT-E1272, namun antusiasme masyarakat pencinta gadget mulai beralih ke ponsel Android dan iOS setelah muncul teknologi layar sentuh. Sehingga ponsel buatan Samsung ini hanya digunakan untuk ponsel kedua.
Teknologi ponsel layar lipat mulai dilupakan masyarakat, dan mustahil rasanya menghadirkan teknologi ini di ponsel layar sentuh. Namun sejak hadirnya teknologi layar Amoled yang tipis dan dapat ditekuk, yang mana ini mustahil bagi layar IPS, timbul harapan untuk menciptakan ponsel layar lipat.
Pada 2018 muncul desas-desus bahwa sejumlah vendor teknologi raksasa seperti Samsung dan Huawei tengah merancang ponsel lipat mereka, namun The Royole Fexpai, perusahaan asal Cina, mencuri start dan memecahkan rekor dunia sebagai pencipta ponsel layar lipat pertama. Ponsel dengan nama FlexPai tersebut dirilis pada 31 Oktober 2018 lalu, namun sepertinya Royole terlalu ambisius sehingga ponselnya mendapat banyak kritikan dan dinilai belum matang.
Tak lama berselang, pada Februari 2019, Samsung dengan percaya diri mengenalkan ponsel layar lipatnya ke pasar global dengan nama Galaxy Fold. Ponsel futuristik ini meluncur di Indonesia pada Jumat, 13 Desember 2019 dengan harga Rp 30,8 juta. Harga yang lebih mahal berkali-kali dari sepeda motor matik.