TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hak Asasi Manusia atau HAM Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman mengungkapkan pelaksanaan reforma agraria di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi baru sebatas aspek administrasi tapi tidak menyentuh ide utama reforma agraria, yakni redistribusi tanah.
Herlambang mengungkapkan berbagai kasus di lapangan menunjukkan reforma agraria masih jauh dari cita-cita utamanya. Konflik-konflik lahan memunculkan kekerasan, baik itu berupa intimidasi atau kriminalisasi dari aktor yang memiliki relasi kuasa yang lebih tinggi.
"Ada gap antara kebijakan dan realita,” ujar alumni Leiden University yang juga peneliti LP3ES pada Seri Diskusi Negara Hukum bertema “Kemunduran Demokrasi dan Gagalnya Reforma Agraria” yang digelar LP3ES pada Kamis 23 September 2021 untuk memperingati Hari Tani.
Menurut Herlambang, di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi demokrasi mengalami kemunduran dan banyak terjadi konflik yang berkaitan dengan agraria. Mundurnya demokrasi dan ramainya konflik agraria sumber daya alam ini, menurut Herlambang, disebabkan oleh negara yang tidak demokratis.
Melansir dari kominfo.go.id, reforma agraria sendiri merupakan salah satu Program Prioritas Nasional yang ditingkatkan Pemerintahan Jokowi Periode 1 dan 2,dalam upaya membangun Indonesia dari pinggir serta meningkatkan kualitas hidup.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960, terdapat tiga tujuan mulia yang ingin dicapai, yaitu Pertama, Menata ulang struktur agraria yang timpang jadi berkeadilan, Kedua, Menyelesaikan konflik agraria, dan Ketiga menyejahterakan rakyat setelah reforma agraria dijalankan.
Menurut Herlambang ada paradoksal dalam kebijakan agraria yang dijalankan pemerintah. Dosen Hukum Tata Negara ini menjelaskan, di satu sisi pemerintah menggemborkan pencapaian terkait bagi-bagi sertifikat tanah secara gratis. Di sisi lain telah banyak catatan perampasan tanah dari warga setempat untuk kepentingan pembangunan dan ekstraksi sumber daya alam.
“Belum lagi kita membahas politik hukum yang mendasari UU Cipta Kerja. Jadi ada gap antara kebijakan dan realita,” katanya.