TEMPO.CO, Bandung — Program Manager CN 235-200 FTB, PT Dirgantara Indonesia, Eko Budi Santoso memaparkan uji terbang perdana Bandung-Jakarta yang dijalani pesawat itu menggunakan bioavtur J2.4, Rabu 6 Oktober 2021. “Start dari Bandara Husein Sastranegara jam 7 pagi, sampai di sana (Bandara Soekarno-Hatta) itu 07.47 WIB,” kata dia, saat dihubungi Tempo, Rabu.
Eko mengatakan, pesawat terbang tanpa kendala. Untuk penerbangan itu, mesin kanan pesawat CN235-220 FTB milik PTDI dipasok dengan bioavtur J2.4, sementara mesin kiri menggunakan avtur biasa, Jet A1. “Sesuai skenario itu memang diuji untuk bioavtur di sebelah kanan,” kata dia.
Menurut Eko, pengujian bioavtur berbahan baku minyak sawit itu dilakukan yang pertama di dunia. Dia menerangkan, bioavtur yang ada saat ini di dunia belum ada yang berbasis minyak kelapa sawit. Eropa misalnya menggunakan biji matahari, lalu Brasil menguji penggunaan bioavtur dari bahan baku tebu.
“Belum ada semacam parameter sebagai komparasi terhadap penggunaan bioavtur khusus pada pesawat propeller sejenis," katanya sambil menambahkan, izin terbang pesawatnya dengan bioavtur J2.4 buatan Pertamina dan ITB itupun diberikan IMAA (Indonesian Military Airworthiness Authority),"Dan IMAA juga pertama kali memberikan izin ini.”.
Eko menambahkan bahwa proses pengujian sudah dilakukan bertahap hingga digelarnya penerbangan perdana Bandung-Jakarta, Rabu. Dia memastikan seluruh proses dilakukan secara hati-hati. “IMAA yang memberi izin berhati-hati. Kami yang punya pesawat berhati-hati."
Eko juga mengaku, berdasarkan hasil uji, tidak ada perbedaan performa pada kedua mesin saat terbang perdana Bandung-Jakarta tersebut. Termasuk saat terbang pulang Jakarta-Bandung dengan formasi bahan bakar yang sama, yakni mesin kanan menggunakan bioavtur J2.4 dan kiri Jet A1.
“Masih dalam batas range yang diizinkan secara analisis,” kata dia. “Intinya tidak ada terasa perbedaan.”
Hasil pengujian menunjukkan indikator data sama. Justru ada indikasi menggunakan bioavtur J2.4 lebih efisien yang diketahui dari bahan bakar tersisa saat pengisian ulang (refueling) untuk penerbangan kedua kembali ke Bandung. Tapi indikasi ini, Eko menerangkan, harus dipastikan lagi lewat uji terbang selama enam jam. Itu berkaitan dengan komparasi mesin.
"Untuk penerbangan yang sekarang tidak diperlukan tapi kalau memang mau dilakukan, ada tahapannya,” kata dia.
Eko mengatakan, saat ini masih menunggu kelanjutan ada tidaknya tes lanjutan yang akan dilakukan. Misalnya pengujian penerbangan dengan kedua mesin menggunakan bioavtur. “Walaupun secara analisis kita sudah bisa menyatakan bahwa sudah bisa dua-duanya pakai bioavtur, tapi kan untuk menguatkan itu harus flight test," kata dia.
Baca juga:
Nobel Kimia 2021 untuk Dua Ilmuwan di Balik Kemajuan Banyak Industri