TEMPO.CO, Jakarta - Ricky Amukti, manajer di lembaga analisis kebijakan yang berfokus pada isu transisi menuju energi bersih terbarukan, Traction Energy Asia, membeberkan tiga sumber utama polusi udara di DKI Jakarta, yakni transportasi, pembangkit listrik, dan sampah.
Hal itu disampaikan dalam webinar bertajuk ‘Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait Tuntutan Udara Bersih Jakarta, Apa Langkah Selanjutnya?’ pada Kamis, 7 Oktober 2021.
“Polusi udara yang terbesar berasal dari transportasi, angkanya 50 persen, dari pembangkit listrik tenaga uap di Jabar dan Banten 30 persen, dan sisanya berasal dari sampah,” ujar dia, Kamis.
Menurut Ricky, berdasarkan data, ada sekitar 16 juta unit sepeda motor, dan 3,6 juta unit mobil yang melintasi wilayah Jakarta—termasuk dari Banten dan Jawa Barat—ditambah lagi dengan transportasi umum. Kendaraan tersebut mengeluarkan gas emisi, dan membutuhkan bahan bakar minyak yang banyak dan bisa memunculkan polusi udara.
Untuk mengatasi masalah udara tersebut, Ricky juga memberikan grand design yang bisa dilakukan pemerintah setempat. Dia mengusulkan bahan bakarnya bisa digantikan dengan yang lebih ramah lingkungan atau menggantinya dengan kendaraan bertenaga listrik.
“Kendaraan listrik ini lebih ke rencana jangka panjang, atau menggunakan bahan bakar yang lebih variatif supply, tidak hanya mengambil dari fosil, minyak kelapa sawit, bisa diganti dengan tebu misalnya,” tutur Ricky.
Selain itu, kata dia, bisa juga memanfaatkan minyak jelantah yang bisa menjadi peluang untuk stok biodiesel. Jakarta kemungkinan memiliki 12 juta liter per tahun untuk minyak jelantah yang berasal dari limbah rumah tangga dan usaha mikro kecil menengah (UMKM), belum dihitung yang berasal dari industri dan restoran.
“Menurut kajian Royal Academy Engineering, emisi minyak jelantah lebih rendah sekitar 80-90 persen daripada yang digunakan sekarang,” katanya lagi.
Sedangkan untuk listrik, Jakarta bisa menggunakan pembangkit listrik tenaga surya atap (PLTS Atap). Menurut Ricky, PLTS Atap sangat mungkin digunakan karena modular, dan akan lebih aplikatif jika dimanfaatkan di Jakarta, karena bisa diterapkan di gedung-gedung tinggi.
“Satu megawatt panel surya itu bisa mengurangi emisi efek rumah kaca sebanyak 1.226 CO per tahun,” ujar Ricky sambil menambahkan sebenarnya di Jakarta cukup hanya 20 persen saja PLTS Atap bisa mengurangi polusi udara.
Baca:
WHO Rilis Pedoman Kualitas Udara Baru, Perubahan pada 6 Polutan Klasik