TEMPO.CO, Jakarta - Relawan dan Konsultan Kesehatan Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), Alvi Muldani, mencatat kualitas udara Jakarta cukup buruk. Per Kamis, 7 Oktober 2021, nilai rata-rata konsentrasi particulate matter PM 2,5 di udara mencapai rata-rata 26,9 ug/m3 atau lebih dari lima kali lebih buruk daripada ambang batas terbaru yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dalam webinar bertajuk ‘Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait Tuntutan Udara Bersih Jakarta, Apa Langkah Selanjutnya?’, Alvi yang juga seorang dokter umum itu menerangkan baku mutu udara ambien untuk PM 2,5 kini menjadi 15 mikrogram per meter kubik untuk batas harian 5,0 untuk tahunan. Standar baru itu ditetapkan WHO pada 22 September lalu.
Standar terbaru dibuat lebih ketat dibandingkan yang berlaku sebelumnya. Alasannya, standar yang lama tak mampu mencegah tujuh juta orang di dunia dari kematian dini karena polusi udara. “Sementara di Jakarta, hampir enam kali lipat standar tahunan WHO terbaru tersebut. Ini membuat usia masyarakat hanya bisa sampai 55 tahun,” ujar Alvi, Kamis.
Alvi menerangkan bahwa PM 2,5 merupakan polutan yang paling banyak menimbulkan masalah kesehatan. Polutan ini dapat menembus paru-paru dan dialirkan oleh pembuluh darah ke seluruh tubuh. Meskipun ukurannya kecil, berat partkel ini lebih besar dibanding dengan polutan lain.
Pada 2013, Alvi mengingatkan, WHO telah mengklasifikasikan PM 2,5 sebagai zat penyebab kanker. Ditambahannya pula bahwa keberadaan zat tersebut tidak disadari dan penyakitnya tidak spesifik, membuat masyarakat cenderung abai dengan polutan sebagai salah satu penyebab utama masalah kesehatan.
Padahal, kata Alvi, ini bisa menyebabkan gangguan perkembangan janin, iritasi mata dan saluran napas, kanker paru, penyakit otak degeneratif, bahkan penurunan performa atlet. “Karena mereka bernapas 20 kali lebih banyak dibanding orang normal, sehingga berisiko 20 kali lipat terpapar,“ tutur Alvi.
Dia juga menyarankan agar masyarakat sering-sering memantau situs web Air Quality Index (AQI), yang menyajikan data secara real time mengenai kondisi udara di wilayahnya. Masyarakat bisa mengetahui seberapa bahaya polusi udara setiap harinya, termasuk juga keterangan apa yang harus dilakukan dengan kualitas udara yang ada.
“Kita bisa lihat, apakah pakai masker respirator atau N95, atau bahkan sampai petunjuk dilarang keluar rumah karena buruknya kualitas udara Jakarta,” katanya lagi sambil menambahkan bahwa sebaiknya informasi kualitas udara harian juga ikut ditayangkan di televisi, bukan hanya prakiraan cuaca saja.
Baca juga:
Standar Baru WHO untuk Polusi Udara dan Manfaatnya di Indonesia