TEMPO.CO, Malang — Barus di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, tersohor sebagai daerah penghasil kapur barus dan kemenyan. Pamor kapur dan kemenyan dari Barus hingga ke penjuru dunia, terutama di Eropa dan Timur Tengah, jauh sebelum cengkih dan pala populer.
"Kapurlah yang kemudian lebih membesarkan nama Barus di pentas perdagangan dunia masa silam sehingga terkenal dengan sebutan kapur barus,” kata Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari.
Ichwan mengungkapnya dalam seminar daring bertema “Kapur Barus, Warisan yang Dilupakan” yang diselenggarakan oleh Teater Siklus, Kota Medan, Rabu sore, 13 Oktober 2021. Kegiatan seminar itu diselenggarakan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sebagai bagian dari kampanye Jalur Rempah oleh kementerian itu.
Selain Ichwan, seminar itu menghadirkan Irfan Simatupang (Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara), Ahmad Dani Sunandar (Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup di Aek Nauli, Sumatera Utara), serta Anton Sujarwo, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah.
Dalam artikel berjudul Politik Historiografi Sejarah Lokal: Kisah Kemenyan dan Kapur dari Barus, Sumatera Utara yang dipublikasikan melalui Jurnal Sejarah dan Budaya edisi 2017, Ichwan pernah menulis kalau kapur barus sudah menjadi komoditi penting sejak abad kedua Masehi.
Begitu pun asal-usul penamaan kapur barus yang berasal dari wilayah bernama Barus, sebagaimana dikabarkan oleh Claudius Ptolemaeus (ahli geografi, astronom, dan astrolog yang hidup pada zaman Helenistik di Romawi) pada abad kedua Masehi melalui bukunya Geographyke Hyphegeiss. Ptolemaeus menyebut Barus dengan nama Barousai.
Kepopuleran kapur mengundang banyak pedagang asing ke Barus di masa lampau terbukti pula dari informasi yang terpahat di Prasasti Tamil yang ditemukan di Desa Lobu Tua, yang sekarang bagian dari Kecamatan Andam Dewi. Prasasti yang kemudian dikenal dengan nama Prasasti Lobu Tua ini ditemukan oleh kontrolir Belanda bernama J. Brandes pada 1873 dan kini disimpan di Museum Nasional di Jakarta.
“Namun, nasib pohon kapur atau kamper yang kita kenal sekarang justru terancam punah karena tidak diurus dan dilestarikan oleh pemerintah daerah setempat,” ujar Ichwan, yang juga Ketua Asosiasi Museum Indonesia Sumatera Utara itu, dalam seminar.
Dalam materi berjudul Menyelamatkan Rumah Terakhir Kapur Barus yang ia sampaikan di seminar itu, Ichwan menyebutkan populasi pohon kapur barus tersisa di Desa Sioardang, Kecamatan Sirandorung, Kabupaten Tapanuli Tengah, yang berkontur dataran tinggi. Masyarakat setempat sering memanfaatkan batang kayu kapur barus sebagai bahan bangunan dan pembuatan kapal-kapal nelayan.
Mengutip data hasil riset mahasiswanya, Ichwan menyebutkan, per 2018 lalu terdapat 575 pohon kapur mulai dari usia nol sampai usia tua. Rinciannya, pohon tua peninggalan akhir abad ke-19 atau sumber bibit (usia 80-100 tahun) sebanyak 25 pohon. Pohon sedang usia 20-60 tahun berjumlah sekitar 150 pohon.
Ilustrasi kapur barus. TEMPO/Nufus Nita Hidayati
Lalu, pohon muda usia 10-15 tahun sebanyak lebih-kurang 200 pohon. Anakan pohon usia 2 hari sampai 5 tahun berjumlah 100 pohon, serta bibit pohon usia nol sampai 1 tahun sebanyak 100 tahun.
“Padahal, pastilah zaman dulu jumlah pohonnya mencapai ribuan dan bahkan mungkin sampai ratusan ribu pohon," katanya sambil menambahkan, "Kalau tidak, bagaimana bisa memenuhi permintaan pasar ekspor kapur barus masa itu, yang sebarannya di banyak negara, terutama Eropa dan Timur Tengah.”