Secara umum, kata dia, kondisi pohon kapur pemilik nama ilmiah Dryobalanops aromatica terancam rusak dan habis. Mayoritas pohon kapur yang lumayan bernasib baik ada di kebun seluas 2,5 hektare milik keluarga Jalungan Silaban. Tapi ini pun terancam tergerus penebangan dan pembakaran lahan untuk dijadikan kebun sawit dan karet seperti yang telah terjadi di sekitar kawasannya.
"Banyak pohon kapur tidak diurus dan bahkan ditebang karena dianggap tidak cepat menghasilkan keuntungan ekonomi. Kondisi ini diperparah kepercayaan beraroma mistik dan takhayul," tuturnya.
Ichwan mengusulkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah untuk membeli seluruh lahan kebun Silaban tersebut. Setelah dibeli, dia menyarankan, kebun bisa dijadikan taman yang dilengkapi dengan museum.
Lokasi kebun yang strategis, dekat jalan raya dan berjarak sekitar 50 kilometer dari makam-makam kuno di Barus, juga dinilainya bisa cepat mendatangkan pengunjung dari banyak daerah. Apalagi jika lokasi dikembangkan menjadi pusat penelitian kapur barus, kemenyan, maupun rempah-rempah.
Ichwan menambahkan, kebun dan museum itu bisa jadi ikon penting Barus. "Jangan sampai generasi sekarang kenalnya kapur barus yang dijual di minimarket, yang biasa dipakai untuk mengusir kepinding,” kata Ichwan.
Selain itu, Ichwan menekankan, pemerintah daerah setempat perlu menggencarkan penanaman massal pohon kapur dari bibit yang dikembangkan di kebun bibit sendiri. Gerakan penanaman ini dilakukan oleh semua sekolah, instansi pemerintah, serta masjid-masjid dan tempat ibadah lain.
“Gerakan jamaah masjid untuk menanamnya, entah di halaman atau lahan di sekitar masjid atau di tempat-tempat yang kosong sebagai simbol kemuliaan kapur barus karena disebut dalam kitab suci Al-Qur’an,” kata Ichwan.
Pernyataan Ichwan itu merujuk pada surat ke-16 Al-Qur’an (Surat Al-Ihsan) ayat 5: Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan, minum dari gelas (berisi minuman), yang campurannya adalah kafur. Penyebutan kapur dalam Al-Qur’an adalah kafur atau kafura.
Ichwan mengkritik Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah yang justru sibuk mengembangkan wisata religi dengan membenahi membangun sarana dan prasarana tapi melupakan keberadaan pohon kapur, kemenyan, dan tanaman sumber rempah-rempah lainnya. “Padahal, karena kapurlah nama Barus mendunia," kata dia.
Baca juga:
Sejarah: Rempah-rempah Jadikan Jawa Kosmopolitan Dunia