TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia (FKUI), Tjandra Yoga Aditama, menceritakan pengalamannya saat melakukan perjalanan Jakarta-Denpasar pada pekan lalu. Perjalanan itu adalah yang pertama dilakukannya menumpang transportasi pesawat terbang sepanjang masa pandemi Covid-19 ini.
Terbang kembali demi bisa mengikuti Tuberculosis (TB) Summit 2021, Tjandra terakhir menggunakan transportasi udara adalah ketika kembali dari New Delhi, India, pada September 2020. Saat itu sang profesor baru saja menunaikan masa tugasnya sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020.
Pengalaman terbang kembali itu digunakannya untuk mengamati penerapan protokol kesehatan dan aturan pelaksanaannya. “Ada tiga pengalaman dan pengamatan saya dalam kaitannya dengan pencegahan penularan Covid-19,” ujar dia melalui pesan WhatsApp, Sabtu, 23 Oktober 2021.
Pertama, kata Tjandra, sebelum berangkat dia melakukan periksa swab antigen di Klinik Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), Bandara Soekarno Hatta. Ini karena aturan wajib tes PCR baru diberlakukan pada keesokan harinya, yakni pada Kamis 21 Oktober 2021. "Hanya dua atau tiga menit hasilnya ke luar dan sudah masuk ke aplikasi Peduli Lindungi. Cepat sekali,” kata dia.
Ketika akan kembali, Denpasar-Jakarta, sesuai aturan baru, dia melakukan tes PCR. Tjandra yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Jakarta, itu mengaku sepakat tes PCR digunakan sebagai syarat bepergian dengan pesawat terbang. Alasannya, tes itu merupakan gold standard dengan tingkat akurasi yang paling tinggi.
Artinya, hasil negatif tes PCR memberi keamanan yang lebih tinggi untuk pencegahan penularan Covid-19. Berbeda dari rapid test antigen yang, "Mungkin saja masih ada SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, dalam tubuh seseorang, dan tentu berpotensi menular ke orang sekitarnya.”
Kedua, di bandara, Tjandra melanjutkan, secara umum sudah cukup ramai penumpang. Di beberapa restoran terlihat cukup banyak pengunjung, juga ada antrean tanpa jarak sekitar 5-10 orang di kedai kopi ternama. Ketika akan naik pesawat di gate Bandara Soekarno Hatta, antrean masuk ke pesawatnya juga cukup panjang, praktis tidak menjaga jarak.
“Hal ini sebaiknya diperbaiki, walaupun sedang antre tetap harus berjarak setidaknya satu meter antar penumpang, baik depan, belakang maupun antar barisan kiri dan kanan,” tutur dia.
Sedangkan di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, sesudah antrean dan petugas memeriksa boarding pass, penumpang diminta memperlihatkan KTP atau pengenal lain dan membuka masker—memeriksa apakah wajah sesuai dengan kartu pengenal. Sebaiknya, Tjandra menyarankan, membuka masker tidak perlu dilakukan, karena berisiko terjadi penularan walaupun hanya sebentar.
Antrean panjang tak berjarak juga terjadi saat pemeriksaan eHAC di bandara, khususnya lokasi kedatangan. Menurutnya, perlu dicari cara lain, misalnya dengan menyediakan mesin agar penumpang dapat langsung scan eHAC. “Tanpa perlu harus antre dan di cek satu per satu sebelum akhirnya mengambil bagasi.”
Ketiga, di pesawat, pramugari atau petugas ada yang membagikan makanan dan minuman kepada penumpang dengan pesan agar dibawa pulang dan tidak dikonsumsi di dalam pesawat. Namun, pada kenyataannya, baik di penerbangan Jakarta-Bali atau sebaliknya, Tjandra mengamati masih ada saja orang yang membuka bungkus makanan dan menyantapnya di pesawat.
Guru Besar di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Tjandra Yoga Aditama, yang juga Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020 . ISTIMEWA
“Memang tidak salah, tapi membuka masker dan makan sambil banyak bercakap-cakap tentu meningkatkan risiko penularan pula jadinya,” ujar dia sambil menambahkan meskipun pesawat sudah dilengkapi dengan HEPA Filter.
Menurut Tjandra, dengan sudah melandainya kasus penularan, maka akan semakin banyak orang bepergian, dan tentu akan lebih baik jika semua dapat bepergian dengan aman. Saat ini, dia menambahkan, memang memerlukan berbagai penyesuaian dalam pola kehidupan baru dengan Covid-19.
“Kita semua perlu belajar menyesuaikan diri, baik masyarakat luas maupun para petugas, termasuk juga penentu kebijakan publik,” tutur Tjandra.
Baca juga:
BMKG Jelaskan Gempa Swarm dan Gempa Kuat di Banyubiru-Ambarawa
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.