TEMPO.CO, Jakarta - Hampir semua orang di Iran telah terinfeksi virus corona Covid-19 sepanjang masa pandemi ini. Sebagian bahkan telah mendapatkan infeksinya lebih dari sekali. Namun, tetap saja herd immunity tak terjadi di negara ini. Sebaliknya, Iran kini menghadapi bayang-bayang gelombang kematian yang terbaru lagi, kali ini karena virus varian Delta.
Iran termasuk negara pertama di dunia setelah Cina yang disapu pandemi Covid-19. Sayangnya, vaksinasi tergolong lambat dimulai di dalam negerinya. Per Juli 2021, hanya sekitar tiga persen dari populasi di negara itu yang sudah mendapatkan dosis vaksin lengkap. Mahan Ghafari dari University of Oxford mengungkap data itu, sedangkan Johns Hopkins University menyatakan angka vaksinasi dosis lengkap itu kini telah bertambah menjadi 23 persen.
Sebuah badan pemikir di Amerika Serikat menilai langkah mitigasi Covid-19 Iran melambat dan tidak efektif. Respons yang ada juga banyak diwarnai pesan yang tak seragam dari otoritasnya. Belum lagi data resmi yang terbatas, membuat pemahaman efek Covid-19 di Iran semakin sulit.
Seperti diketahui, Kementerian Kesehatan dan Edukasi Medikal Iran berhenti merilis data kasus positif dan kematian Covid-19 tingkat provinsi pada Maret 2020. Untuk bisa mendapatkan informasi, Ghafari dan koleganya menganalisis data dari Organisasi Pencatatan Sipil Iran (NOCR) tentang angka kematian di negara itu secara keseluruhan sepanjang sembilan bulan pertama 2020.
Mereka kemudian membandingkannya dengan data historis untuk melihat berapa banyak selisihnya. Tim peneliti menggunakan angka kelebihan kematian yang ada sebagai pendekatan terhadap data kematian Covid-19 dan paparan virus terhadap populasi di Iran—sebuah pendekatan yang telah terbukti cukup akurat di Inggris dan Afrika Selatan.
NOCR mulai merilis data mingguan yang distratifikasi oleh kelompok umur pada Agustus, yang mengizinkan para peneliti merekonstruksi dinamika pandemi di Iran Januari 2020-September 2021. Mereka mengkalkulasi berapa banyak orang di setiap provinsi telah terjangkit Covid-19.
Hasil analisis menunjukkan total populasi yang terinfeksi diduga sangat tinggi di banyak provinsi. Sebanyak sebelas di antaranya bahkan memiliki tingkat infeksinya lebih dari 100 persen per 17 September lalu. Tertinggi terlihat di Provinsi Sistan dan Baluchestan, yang diperkirakan memiliki tingkat infeksi sampai 259 persen. Jika benar akurat, angka itu berarti sebagian besar warga di provinsi tersebut telah terinfeksi dua kali dan sebagian lagi bahkan sampai tiga kali.
Para peneliti menyimpulkan herd immunity lewat infeksi alami yang belum dicapai di Iran meski paparan luas SARS-CoV-2, kemungkinan karena kekebalan menurun seiring waktu, sangat rawan terhadap paparan varian of concern baru dari virus itu, seperti Delta, atau kombinasi dari keduanya. Hasil studi itu, versi preprint, bisa ditengok di Jurnal Medrxiv yang dipublikasi pada 7 Oktober 2021.
Mark Loeb dari McMaster University, Kanada, berpendapat, studi menggunakan pengukuran infeksi secara langsung diperlukan untuk bisa secara konklusif menentukan tingkat serangan virus dalam populasi tertentu. Meski begitu, dia menemukan kesimpulan hasil studi Ghafari dkk tetap dapat diterima. “Secara keseluruhan, apa yang terjadi di dunia adalah bahwa jelas sekali antibodi memudar dan tidak terjadi di mana, secara ajaib, herd immunity bisa dicapai,” katanya.
Peserta vaksinasi saat menunggu giliran disuntik. (Fotografer: Aditya C Santoso)
Indikasi kuat pertama bahwa herd immunity melawan Covid-19 tidak dapat dicapai tanpa vaksinasi datang dari Manaus, Brasil. Pada Oktober 2020, sebuah studi donor darah di sana menunjukkan 76 persen populasi Manaus pernah terinfeksi SARS-CoV-2. Angka itu jauh di atas nilai teoritis tercapainya herd immunity dari suatu komunitas yang sebesar 67 persen. Tapi yang terjadi pada Desember dan Januari lalu, Manaus masih mengalami lonjakan kasus penularan baru, jumlah pasien rawat inap dan juga kematian, dikarenakan virus varian Gamma yang sangat menular.
Bukti bahwa imunitas yang dibawa oleh infeksi alami bisa merosot lagi terus bertambah. Studi yang belum lama dilakukan menemukan reinfeksi SARS-CoV-2 terjadi selang sekitar 16 bulan, atau tak sampai setengah periode reinfeksi virus corona flu kebanyakan. Dan sebuah studi dari India menemukan tingkat reinfeksi Covid-19 sebesar 27 persen selama ledakan kasus baru karena varian Delta di awal tahun ini.
Sedang untuk Iran, David Fisman dari University of Toronto, Kanada, mengatakan, “Iran adalah sebuah tempat besar dan kompleks dan saya kira hasil kerja para peneliti sangat penting menghadapi validitas.”
NEW SCIENTIST, MEDRXIV
Baca juga:
Covid-19 Iran: Pemerintahny Genjot Impor, Satu Vaksin Lokal Stop Produksi