TEMPO.CO, Jakarta - Cina memberi pernyataan terbaru untuk janjinya menurunkan emisi karbon nasional sebelum 2030. Cina memperbarui rencana kontribusinya dalam upaya menekan dampak perubahan iklim global tersebut tiga hari menjelang dimulainya agenda konferensi perubahan iklim PBB, COP26, di Glasgow, Skotlandia, Minggu 31 Oktober 2021.
Revisi rencana perubahan iklim yang dikirim ke PBB itu mem-formal-kan beberapa janji yang sebelumnya disampaikan Presiden Xi Jinping di awal tahun ini maupun 2020 lalu. Dalam revisi itu Cina berkomitmen kalau puncak emisi karbonnya sudah akan tercapai sebelum 2030, bukan lagi sekitar 2030 seperti komitmen sebelumnya.
Pembaruan komitmen yang diberikan Cina adalah juga termasuk kesiapan mereduksi intensitas karbon—ukuran emisi per unit gross domestic product—sebesar 65 persen per 2030. Pembandingnya adalah intensitas karbon 2005. Angka 65 persen adalah kisaran maksimal dari janji pengurangan intensitas yang pernah dinyatakan dalam proposal sebelumnya.
Bernice Lee dari Chatham House, Inggris, menilai janji terbaru Cina untuk lebih cepat memangkas emisi karbon nasionalnya menjadi sebelum 2030 adalah sebuah langkah positif. Namun, dia menyatakan kalau dunia sebenarnya berharap lebih kepada Cina dalam mengerem kontribusi besarnya terhadap emisi karbon global. “Anda tidak bisa pura-pura bersikap manis, ini mengecewakan,” kata Lee.
Revisi dari Cina juga termasuk rencana memangkas porsi bahan bakar fosil dalam konsumsi energi nasionalnya menjadi 75 persen pada 2030 nanti, berubah dari janji sebelumnya yang 80 persen. Revisi terbaru juga mengkonfirmasi dua pengumuman yang pernah dibuat tentang batu bara, jenis bahan bakar fosil paling polutif. Penggunaan batu bara menyumbang lebih dari 60 persen suplai energi di Cina.
Pengumuman pertama adalah menurunkan konsumsi jenis bahan bakar itu antara 2025 dan 2030. Kedua, tidak lagi membiayai skema baru pembangkit energi tenaga batu bara di luar Cina—saat ini Cina adalah negara pembiayaan terbesar untuk proyek PLTU di dunia.
Secara keseluruhan, komitmen baru yang disodorkan Beijing berisi penegasan atas janji-janji yang pernah disampaikan sebelumnya, dan bukan merupakan kejutan atau peningkatan ambisi yang besar. Ini seperti yang disampaikan Isabel Hilton dari China Dialogue, sebuah organisasi non-profit. “Sisi positifnya adalah ini berarti ketidakhadiran Xi Jinping (di Glasgow) bukan pertanda Cina tidak tertarik atau tak serius berkomitmen,” katanya.
Li Shuo dari Greenpeace Asia Timur juga menuntut Cina datang dengan rencana implementasi yang lebih kuat untuk memastikan puncak emisi karbonnya sudah terjadi sebelum 2025. Dia memberi catatan bahwa saat ini Cina adalah negara peng-emisi karbon terbesar di dunia. Sumbangannya yang sebesar 27 persen emisi global membuat Cina memainkan peran kunci yang akan mempengaruhi apakah dunia bisa memenuhi tujuan dari Kesepakatan Paris yang dibuat dalam COP21 pada 2015.
Ratusan aktivis lingkungan mengatur tubuh mereka untuk membentuk tulisan pesan harapan di depan Menara Eiffel di Paris, Prancis, 6 Desember 2015. Aksi ini bersamaan dengan diselenggarakannya Konferensi Perubahan Iklim Dunia 2015 (COP21) terus di Le Bourget, Prancis. REUTERS/Benoit Tessier
Paris Agreement berisi antara lain kesepakatan jangka panjang untuk mencegah kenaikan suhu udara global lebih dari dua derajat Celsius dari besarannya saat praindustri. Ambisinya bahkan membatas kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celsius.
Tujuan dari agenda COP26 adalah untuk mendorong pemerintahan negara-negara di dunia semakin dekat kepada jalur pencapaian target-target itu, “Dan rencana dari Cina saja tidak akan membuatnya berhasil,” kata Li Shuo. Dalam analisis PBB, berdasarkan komitmen yang diberikan negara-negara di dunia saat ini, suhu udara di Bumi bakal naik sekitar 2,7 derajat Celsius.
NEW SCIENTIST
Baca juga:
Perubahan Iklim: Kesehatan Lansia di Indonesia Termasuk Paling Terdampak