TEMPO.CO, Jakarta - Peralatan-peralatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 50 kWh di Pulau Tunda, Kabupaten Serang, tampak tidak terurus pada akhir pekan terakhir Oktober lalu. Rumput alang-alang dibiarkan tumbuh mengerubuti panel surya. Pelat nama PLTS juga sudah hilang dihancurkan warga yang kecewa karena PLTS hanya berfungsi sesaat, delapan bulan dari semestinya 5-8 tahunan.
PLTS tersebut sebenarnya unit terbaru dari dua PLTS yang dibangun di Pulau Tunda. PLTS pertama berkapasitas 25 kWh dibangun pada tahun 2013, sedangkan PLTS terbaru yang kini mangkrak itu dibangun pada tahun 2018. "Sekarang yang terpakai yang 2013, yang 2018 rusak baterainya," ujar Hasim, Kepala Desa Wargasara di Pulau Tunda.
Menurut Hasim, akibat rusaknya PLTS tersebut, kebutuhan listrik warga pun tidak tercukupi. "Saat ini warga menggunakan listrik hanya untuk kebutuhan mendasar, lampu atau televisi, lainnya tidak bisa," ujarnya.
Rais, salah satu warga yang juga operator PLTS, mengatakan awalnya PLTS dengan kapasitas 50 kWh itu diharapkan bisa beroperasi maksimal untuk memenuhi kebutuhan warga, sementara pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang telah dibangun sebelumnya secara swadaya masyarakat hanya digunakan untuk emergensi.
Sayangnya, kerusakan yang terjadi membuat warga harus bergantung pada PLTS lama berkapasitas 25 kWh yang masih bisa berjalan, namun kapasitas baterainya sebagian sudah rusak karena dimakan usia.
Padahal, menurut Rais, kehidupan warga di Pulau Tunda yang sudah semimodern, membutuhkan listrik yang lebih besar. Dia menghitung satu rumah sekurangnya memiliki delapan item, seperti lampu, pompa air, dispenser, kipas angin. "Saat ini masyarakat sudah butuh watt listrik yang besar," ujarnya.
Kepala Badan Usaha Milik Desa Wargasara, Jarwo, mengatakan akibat rusaknya PLTS itu pemakaian listrik warga sangat dibatasi mengandalkan PLTD pada waktu malam.
Kenyataannya, dengan keterbatasan pasokan PLTS dan PLTD, warga awalnya hanya diberi daya 350 watt sepanjang malam yang digunakan untuk tiga lampu. "Itu kondisinya jam 3 pagi sudah mati, makanya saya tambah sekarang menjadi 550 watt dengan biaya masih sama Rp 3.500 per malam," ujarnya.
Menurut Jarwo, kebutuhan standar pemakaian listrik warga semalam sebesar 1.000 watt agar bisa digunakan dari malam hingga sore hari berikutnya. Penjatahan daya listrik kepada warga juga disesuaikan dengan jatah BBM solar yang tersedia sebanyak 120 liter setiap malam.
Andre Susanto, pakar dan instruktur proyek Renewable Energy Skills Development (RESD) yang didukung oleh Pemerintah Swiss, memastikan penyebab kerusakan PLTS karena baterainya tidak cocok. "Baterainya tidak didesain untuk pemakaian PLTS yang ada. Tipe baterainya tidak cocok dengan chargernya, mungkin bisa jalan beberapa bulan, tapi kemudian rusak," ujar Andre.
Menurutnya, baterai yang digunakan seharusnya tidak untuk PLTS tersebut. "Perangkat-perangkat PLTS yang ada di dunia belum mengakui baterai itu bisa dipakai untuk charger mereka," ujarnya.
Sementara solar charge controler (seperti kepala charger untuk ponsel) bisa dipakai untuk PLTS 25 kWh yang lebih lama. PLTS tersebut menggunakan baterai NS yang berbeda dengan baterai PLTS 50 kWh merek Fluidic. Baterai NS tersebut masih berjalan meski sudah berusia delapan tahun.
Hasim mengatakan sudah mengajukan penggantian baterai ke Pemerintah Kabupaten Serang. "Jawabnya, mudah-mudahan bisa, bila ada anggaran di 2023," ujarnya. Untuk sementara, warga Pulau Tunda, tetap harus bertahan dalam redup.
Baca:
Kalimantan Timur Jadi Proyek Percontohan PLTS 100 MW
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.