TEMPO.CO, Jakarta - Kontroversi pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengundang tanggapan luas. Dalam cuitannya di Twitter pada 3 November 2021, Siti menulis, “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.”
Diduga menyadari tanggapan negatif yang banyak didulangnya, ia kemudian meminta netizen untuk membaca pesannya tentang deforestasi secara utuh. Siti mengarahkan ke akun Facebook miliknya yang menjelaskan bahwa Indonesia menginisiasi Forestry and Other Land Use (FoLU) Net Sink 2030 yang bukan berarti nol deforestasi.
Dalam cuitan berikutnya pada 4 November, Siti kembali memberi klarifikasi bahwa arahan Presiden Jokowi sudah sangat jelas bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintah harus seiring sejalan dengan kebijakan untuk menurunkan deforestasi dan emisi atau harus ada keseimbangan. “Pesan itu telah direalisasikan dalam langkah kerja lapangan yang dalam beberapa waktu ini terus berlangsung,” cuitnya.
Profesor dan Peneliti Ahli Utama di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Edvin Aldrian, menanggapi cuitan-cuitan dari Menteri Siti Nurbaya itu dengan menjelaskan perbedaan Paris Agreement yang dihasilkan dalam COP21 pada 2015 dari Protokol Kyoto perihal komitmen negara-negara di dunia menghadapi perubahan iklim. Menurutnya, pembangunan besar-besaran benar bisa tetap dihela seperti yang disuarakan Menteri Siti.
Tapi, sesuai isi Paris Agreement, syaratnya harus ‘net zero emission’ atau seimbang antara penyerapan dan emisi karbonnya. "Bisa, ya, bisa. Inikan beda sama Protokol Kyoto, sekarang Paris Agreement. Publik harus tahu," kata Edvin yang juga merupakan Wakil Ketua Kelompok Kerja I dalam Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) saat dihubungi di Jakarta, Kamis 4 November 2021.
Edvin menjelaskan Protokol Kyoto yang merupakan persetujuan internasional tentang pemanasan global, mengharuskan negara-negara industri yang meratifikasinya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) mereka sebesar 5,2 persen dibanding emisi 1990. Sehingga jika ada negara yang menghasilkan emisi melebihi persentase 1990, mereka harus bisa memotongnya.
"Tapi kalau Paris Agreement itu lebih fleksibel. Jadi silakan membangun, yang penting kamu mencapai 'net zero emission'. Begitu," ujar dia.
Karena fleksibilitas Paris Agreement itulah, Edvin menerangkan, negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada meninggalkan Protokol Kyoto. Negara-negara G20 juga mendukung pemufakatan yang dihasilkan dalam COP15 di Paris tersebut.
“Berbeda sekali dengan Protokol Kyoto yang jadi seolah-olah menahan pembangunan sehingga kondisinya seperti kembali ke tahun 1990-an, Paris Agreement lebih bebas tapi perlu dipersiapkan betul penyeimbangnya harus ada,” kata dia mengingatkan.
Cara penyeimbangnya itu bisa bermacam-macam dan tidak harus nol deforestasi. Bisa dari sektor energi atau juga keuangan, misalnya memakai insentif fiskal, pajak karbon, obligasi hijau dalam bentuk rupiah atau dolar, sukuk hijau. "Jadi strategi pembangunan seperti apa terserah masing-masing negara. Enggak harus zero deforestation," ujar dia.
Baca juga:
Peneliti: Indonesia Sumbang Emisi Karbon, Terbesar dari Deforestasi