Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Cerita dari COP26: Korban Cuaca Ekstrem dan Iri Adaptasi kepada Mitigasi

Menteri Kehakiman, Komunikasi & Luar Negeri Tuvalu Simon Kofe memberikan pernyataan COP26 saat berdiri di laut di Funafuti, Tuvalu 5 November 2021. Courtesy Tuvalu Kementerian Kehakiman, Komunikasi dan Luar Negeri / Media Sosial via
Menteri Kehakiman, Komunikasi & Luar Negeri Tuvalu Simon Kofe memberikan pernyataan COP26 saat berdiri di laut di Funafuti, Tuvalu 5 November 2021. Courtesy Tuvalu Kementerian Kehakiman, Komunikasi dan Luar Negeri / Media Sosial via
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Satu isu kunci di konferensi iklim COP26 yang baru saja berakhir adalah apakah negara-negara di dunia akan berkomitmen melakukan aksi adaptasi bersama, menangkal dampak terburuk dari perubahan iklim yang sedang terjadi? Tahun lalu, sebanyak 30 juta jiwa telah dipaksa mengungsi dari rumah-rumah mereka karena cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia. Permasalahan ini, juga jumlah jiwa yang terdampak, diperkirakan akan semakin buruk.

“Ayah saya lahir di desanya yang kini sudah tidak ada,” kata Emi Mahmoud, seorang penggiat lingkungan asal Sudan saat bicara tentang dampak nyata perubahan iklim dalam sebuah panel diskusi COP26.

Datang bersama banyak permasalahan lain, suhu udara yang lebih panas berarti pula naiknya permukaan laut, pantai yang menciut dan banjir yang semakin sering datang. “Inilah yang sedang terjadi,” kata Mahmoud sambil menambahkan permasalahan lain berupa gagal panen di tanah kelahirannya yang menyebabkan orang-orang kelaparan dan terjerat kemiskinan. Sedangkan di banyak lokasi lain di dunia, rumah-rumah hancur diterjang cuaca ekstrem seperti badai dan kebakaran hutan.

Pada tahun lalu, negara-negara kaya memberi sekitar US$ 20 miliar atau setara hampir Rp 284 triliun kepada negara miskin untuk membantu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Di Glasgow lalu, mereka berjanji melipatgandakan dana adaptasi hingga 2025, tapi banyak negara miskin menyatakan jumlah dan skala waktu yang ditetapkan itu masih belum mencukupi.

Beberapa negara miskin seperti Banglades, dan negara pulau semisal Fiji, menuntut dana yang lebih besar. Tujuannya, mencegah lebih banyak orang tercerabut dari tanah kelahirannya.

Arafat Jamal dari Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mengatakan kalau, sepanjang tahun ini saja, sekitar 780 ribu rakyat Sudan telah terdampak banjir karena hujan lebat. Pergerakan sejumlah besar orang itu untuk mencari lokasi tempat tinggal yang baru, Jamal mengungkapkan, bisa memicu kekerasan. “Di negara dengan 64 suku dan sejarah konflik yang kental, Anda sama saja bermain dengan api ketika sejumlah besar orang harus berpindah tempat,” katanya.

Kekerasan itu sempat terjadi tahun lalu di Mongalla, Sudan sebelah selatan, saat sejumlah besar gelombang pengungsian masuk ke Jongeli pascabanjir ekstrem dekat negara bagian itu. Untuk tahun ini, Jamal belum mendapat laporan kekerasan. “Orang-orang hanya berusaha untuk bertahan hidup,” kata dia.

Banjir bukanlah hal baru di Sudan, tapi yang juga terjadi di banyak negara lain, banjir semakin sering dan parah. Masalah yang ditimbulkannya juga bukan sekadar gelombang evakuasi atau pengungsian, tapi juga hilangnya tempat tinggal dan sumber mata pencarian.

Jamal menyebut populasi 16 juta sapi di Sudan ikut terjebak banjir. Sebagian warga akhirnya memilih menjual ternaknya itu dengan harga sepersepuluh dengan alasan hewan itupun pasti tak akan bertahan. Pun dengan ladang-ladang sorghum yang terendam banjir. “Jika banjir terus menjadi permanen, jutaan orang tak terhindarkan harus pindah ke wilayah lain di Sudan,” katanya.

Banjir bandang di Sudan dalam 3 bulan ini telah menewaskan 100 orang dan menghanyutkan 100 ribu rumah, Sudan dalam status darurat. [ARAB NEWS]

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aiyaz Sayed-Khaiyum, jaksa agung Fiji, dalam sebuah panel dikusi yang lain, mengungkapkan kalau semakin besar komitmen besaran dana yang dijanjikan dalam skema emisi karbon, timpang dengan dana untuk adaptasi perubahan iklim. “Mitigasi sangat seksi. Dia menarik sejumlah besar pendanaan modal dari perusahaan. Adaptasi tidak,” katanya.

Andrew Harper, penasihat khusus untuk aksi iklim di UNHCR, menyatakan penting untuk diperhatikan bahwa kebanyakan orang yang dipaksa pindah oleh cuaca ekstrem tak sampai menyeberangi batas-batas negara. Mereka disebutnya berusaha untuk tetap hidup bersama dalam satu komunitasnya.

Namun dia tidak tahu hingga kapan itu akan terjadi. Menurutnya, butuh dana yang lebih besar untuk pengembangan teknik-tekni mitigasi banjir dan mengembangkan varietas tanaman pokok yang resisten terhadap cuaca ekstrem.

Harper mengaku diundang menjadi anggota sejumlah panel diskusi selama penyelenggaraan COP26 lalu untuk membicarakan isu adaptasi dampak perubahan iklim ini. “Ada begitu banyak diskusinya,” kata dia, “tapi saya tidak yakin berapa banyak yang benar-benar mendengarkan.”

NEW SCIENTIST

Baca juga:
COP26 Gagal Penuhi Tuntutan Pendanaan Adaptasi Perubahan Iklim Negara Miskin dan Rentan

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Iklan




Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.




Video Pilihan


Mengenal Zaman Es Hangat 700 Ribu Tahun Lalu yang Berperan dalam Perubahaan Iklim Modern

51 menit lalu

Es terapung terlihat selama ekspedisi kapal The Greenpeace's Arctic Sunrise di Samudra Arktik, Kutub Utara, 14 September 2020. [REUTERS / Natalie Thomas]
Mengenal Zaman Es Hangat 700 Ribu Tahun Lalu yang Berperan dalam Perubahaan Iklim Modern

Para ilmuwan menemukan bahwa 700.000 tahun yang lalu, Zaman Es Hangat telah mengubah pola iklim secara permanen


Buruh Amazon di Seattle Mogok Kerja, Protes Iklim hingga Kebijakan Kantor

1 hari lalu

Pekerja Amazon berpartisipasi dalam pemogokan di Markas Besar Amazon pada hari Rabu. Matt Mills Mcknight/Reuters
Buruh Amazon di Seattle Mogok Kerja, Protes Iklim hingga Kebijakan Kantor

Sejumlah karyawan Amazon.com Inc melakukan pemogokan di Seattle, Amerika Serikat, untuk memprotes komitmen iklim dan beberapa kebijakan.


Asus Luncurkan Laptop Ultraportabel Zenbook S 13 OLED, Diklaim Paling Tipis dan Ringan di Dunia

2 hari lalu

Laptop Ultraportabel Zenbook S 13 OLED dari Asus. Foto/Maria Fransisca Lahur
Asus Luncurkan Laptop Ultraportabel Zenbook S 13 OLED, Diklaim Paling Tipis dan Ringan di Dunia

Ditawarkan dengan harga Rp 24 juta, berikut kekuatan dan keramahan laptop OLED 13,3-inci Asus Zenbook S 13 OLED (UX5304).


Luhut: Kemajuan Teknologi Cepat, Peraturan Juga Harus Menyesuaikan

3 hari lalu

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan saat memberikan pidato di Universitas Indonesia pada Selasa, 12 April 2022. FOTO/Doc UI
Luhut: Kemajuan Teknologi Cepat, Peraturan Juga Harus Menyesuaikan

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi atau Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan cepatnya kemajuan teknologi juga harus diiringi dengan penyesuaian peraturan.


Studi Baru Peringatkan Potensi Tsunami Raksasa dari Antartika Terulang Lagi

4 hari lalu

Zona Perlindungan Laut di Antartika
Studi Baru Peringatkan Potensi Tsunami Raksasa dari Antartika Terulang Lagi

Tsunami raksasa dari Antartika di masa lalu bisa terjadi sampai ke kawasan Asia Tenggara. Bagaimana potensinya di masa kini?


Cegah Banjir di Kedoya Selatan, Pemkot Jakbar Bersih-bersih Saluran Kali Pesanggrahan

4 hari lalu

Warga berjalan melintasi banjir di kawasan Kedoya Utara, Jakarta, Ahad, 21 Februari 2021. Curah hujan tinggi diperkirakan akan terus melanda berbagai wilayah di Indonesia hingga akhir Februari 2021 atau awal Maret 2021. ANTARA/Muhammad Adimaja
Cegah Banjir di Kedoya Selatan, Pemkot Jakbar Bersih-bersih Saluran Kali Pesanggrahan

Pemkot Jakarta Barat menggelar aksi bersih-bersih saluran air untuk mencegah banjir di kawasan Kedoya Selatan.


Protes Subsidi BBM, 1.500 Aktivis di Belanda Ditangkap

5 hari lalu

Petugas polisi menahan seorang pengunjuk rasa Pemberontakan Punah dalam mengkampanyekan Perubahan Iklim di dekat Gedung Parlemen di London, Inggris, 8 Oktober 2019. Aksi unjuk rasa tersebut merupakan tahapan terakhir dalam kampanye global atas langkah yang lebih tegas dan lebih cepat terhadap perubahan iklim, yang dikoordinasikan oleh kelompok tersebut. REUTERS/Henry Nicholls
Protes Subsidi BBM, 1.500 Aktivis di Belanda Ditangkap

Belanda menangkap 1.500 aktivis yang berunjuk rasa di Den Haag pada Sabtu lalu. Jumlah aktivis yang ditangkap adalah yang terbanyak.


Mitigasi Perubahan Iklim Jangan Lupakan Penyandang Disabilitas, Ini Keperluan Mereka

6 hari lalu

Sejumlah warga menebang pohon yang tumbang akibat diterjang angin kencang di Kota Kupang, NTT, Senin, 5 April 2021. Badai siklon Seroja diperkirakan akan masih menerjang NTT dan sekitarnya pada Selasa, 6 April 2021. ANTARA/Kornelis Kaha
Mitigasi Perubahan Iklim Jangan Lupakan Penyandang Disabilitas, Ini Keperluan Mereka

Maria Yasinta merupakan salah satu penyandang disabilitas saat badai Seroja melanda NTT pada 2021 yang menyebabkan banjir bandang.


Genangan Bertahun-tahun di Jalan Raya Ceger, Kapan Pemkot Tangsel Mau Perbaiki Selokan yang Mampet?

8 hari lalu

Warga Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan menagih janji Pemkot Tangsel yang tidak kunjung membenahi drainase di Jalan Raya Ceger. Hingga saat ini, Rabu 24 Mei 2023 jalan tersebut masih tergenang. TEMPO/Muhammad Iqbal
Genangan Bertahun-tahun di Jalan Raya Ceger, Kapan Pemkot Tangsel Mau Perbaiki Selokan yang Mampet?

Hingga kini tak terlihat langkah Pemkot Tangsel memperbaiki selokan yang mampet di Jalan Raya Ceger. Bikin genangan bertahun-tahun tak tuntas.


Demi Kurangi Emisi Karbon, Prancis Larang Penerbangan Domestik Jarak Pendek

9 hari lalu

Ilustrasi pesawat parkir di bandara. REUTERS
Demi Kurangi Emisi Karbon, Prancis Larang Penerbangan Domestik Jarak Pendek

Penerbangan domestik jarak pendek di Prancis sudah dilarang sejak 23 Mei lalu.