TEMPO.CO, Jakarta - Satu isu kunci di konferensi iklim COP26 yang baru saja berakhir adalah apakah negara-negara di dunia akan berkomitmen melakukan aksi adaptasi bersama, menangkal dampak terburuk dari perubahan iklim yang sedang terjadi? Tahun lalu, sebanyak 30 juta jiwa telah dipaksa mengungsi dari rumah-rumah mereka karena cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia. Permasalahan ini, juga jumlah jiwa yang terdampak, diperkirakan akan semakin buruk.
“Ayah saya lahir di desanya yang kini sudah tidak ada,” kata Emi Mahmoud, seorang penggiat lingkungan asal Sudan saat bicara tentang dampak nyata perubahan iklim dalam sebuah panel diskusi COP26.
Datang bersama banyak permasalahan lain, suhu udara yang lebih panas berarti pula naiknya permukaan laut, pantai yang menciut dan banjir yang semakin sering datang. “Inilah yang sedang terjadi,” kata Mahmoud sambil menambahkan permasalahan lain berupa gagal panen di tanah kelahirannya yang menyebabkan orang-orang kelaparan dan terjerat kemiskinan. Sedangkan di banyak lokasi lain di dunia, rumah-rumah hancur diterjang cuaca ekstrem seperti badai dan kebakaran hutan.
Pada tahun lalu, negara-negara kaya memberi sekitar US$ 20 miliar atau setara hampir Rp 284 triliun kepada negara miskin untuk membantu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Di Glasgow lalu, mereka berjanji melipatgandakan dana adaptasi hingga 2025, tapi banyak negara miskin menyatakan jumlah dan skala waktu yang ditetapkan itu masih belum mencukupi.
Beberapa negara miskin seperti Banglades, dan negara pulau semisal Fiji, menuntut dana yang lebih besar. Tujuannya, mencegah lebih banyak orang tercerabut dari tanah kelahirannya.
Arafat Jamal dari Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mengatakan kalau, sepanjang tahun ini saja, sekitar 780 ribu rakyat Sudan telah terdampak banjir karena hujan lebat. Pergerakan sejumlah besar orang itu untuk mencari lokasi tempat tinggal yang baru, Jamal mengungkapkan, bisa memicu kekerasan. “Di negara dengan 64 suku dan sejarah konflik yang kental, Anda sama saja bermain dengan api ketika sejumlah besar orang harus berpindah tempat,” katanya.
Kekerasan itu sempat terjadi tahun lalu di Mongalla, Sudan sebelah selatan, saat sejumlah besar gelombang pengungsian masuk ke Jongeli pascabanjir ekstrem dekat negara bagian itu. Untuk tahun ini, Jamal belum mendapat laporan kekerasan. “Orang-orang hanya berusaha untuk bertahan hidup,” kata dia.
Banjir bukanlah hal baru di Sudan, tapi yang juga terjadi di banyak negara lain, banjir semakin sering dan parah. Masalah yang ditimbulkannya juga bukan sekadar gelombang evakuasi atau pengungsian, tapi juga hilangnya tempat tinggal dan sumber mata pencarian.
Jamal menyebut populasi 16 juta sapi di Sudan ikut terjebak banjir. Sebagian warga akhirnya memilih menjual ternaknya itu dengan harga sepersepuluh dengan alasan hewan itupun pasti tak akan bertahan. Pun dengan ladang-ladang sorghum yang terendam banjir. “Jika banjir terus menjadi permanen, jutaan orang tak terhindarkan harus pindah ke wilayah lain di Sudan,” katanya.
Banjir bandang di Sudan dalam 3 bulan ini telah menewaskan 100 orang dan menghanyutkan 100 ribu rumah, Sudan dalam status darurat. [ARAB NEWS]
Aiyaz Sayed-Khaiyum, jaksa agung Fiji, dalam sebuah panel dikusi yang lain, mengungkapkan kalau semakin besar komitmen besaran dana yang dijanjikan dalam skema emisi karbon, timpang dengan dana untuk adaptasi perubahan iklim. “Mitigasi sangat seksi. Dia menarik sejumlah besar pendanaan modal dari perusahaan. Adaptasi tidak,” katanya.
Andrew Harper, penasihat khusus untuk aksi iklim di UNHCR, menyatakan penting untuk diperhatikan bahwa kebanyakan orang yang dipaksa pindah oleh cuaca ekstrem tak sampai menyeberangi batas-batas negara. Mereka disebutnya berusaha untuk tetap hidup bersama dalam satu komunitasnya.
Namun dia tidak tahu hingga kapan itu akan terjadi. Menurutnya, butuh dana yang lebih besar untuk pengembangan teknik-tekni mitigasi banjir dan mengembangkan varietas tanaman pokok yang resisten terhadap cuaca ekstrem.
Harper mengaku diundang menjadi anggota sejumlah panel diskusi selama penyelenggaraan COP26 lalu untuk membicarakan isu adaptasi dampak perubahan iklim ini. “Ada begitu banyak diskusinya,” kata dia, “tapi saya tidak yakin berapa banyak yang benar-benar mendengarkan.”
NEW SCIENTIST
Baca juga:
COP26 Gagal Penuhi Tuntutan Pendanaan Adaptasi Perubahan Iklim Negara Miskin dan Rentan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.