TEMPO.CO, Jakarta - Perubahan iklim yang terjadi saat ini, sebagai dampak dari pemanasan global, ternyata juga meningkatkan aktivitas petir. Dihitung, setiap peningkatan suhu udara sebesar satu derajat Celsius, frekuensi petir bertambah sebanyak 12 persen
Peneliti klimatologi dari Pusat Riset Sains dan Teknologi Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, mengungkap itu dalam keterangan pers yang dibagikan, Rabu 17 November 2021. Erma mengutip hasil riset pada 2014 yang menunjukkan aktivitas petir telah meningkat 50 persen di wilayah Amerika Serikat.
"Peningkatan serupa mengkonfirmasi bahwa aktivitas petir di dunia juga mengalami peningkatan karena isu pemanasan global," katanya.
Erma menjelaskan, pemanasan suhu permukaan di atmosfer Bumi berimplikasi pada penambahan jumlah kelembapan atau uap air di atmosfer yang menjadi bahan baku utama pembentukan badai. Hal itu dapat terjadi dengan cara meningkatkan energi potensial konvektif atau disebut dengan Convective Available Potential Energy (CAPE) yang terdapat pada tiap parsel udara.
Dikemukakannya bahwa nilai CAPE ini menjadi ukuran seberapa besar energi kinetik yang dapat dilepaskan dari parsel udara yang sedang bergerak ke atas karena proses konveksi. "Ketika suhu udara mengalami pemanasan, maka CAPE akan meningkat karena peningkatan kelembapan, sehingga dapat menghasilkan banyak petir.”
Di Indonesia, Erma menambahkan, area dengan aktivitas petir tertinggi terdapat di Pulau Sumatera yang memperlihatkan kejadian petir mencapai lebih dari 50 kali per tahun. Data yang ini dikutipnya dari jurnal yang ditulis ilmuwan Brasil, Rachel I. Albrecht, dan teman-temannya melalui pengamatan selama 16 tahun.
Disebutkannya, kawasan pesisir timur di Sumatra bagian utara lebih sering mengalami aktivitas petir dibandingkan kawasan pesisir barat. Secara Bersama, dua kawasan itu melampaui Jawa bagian barat dan tengah sebagai wilayah dengan frekuensi kejadian sambaran petir paling tinggi.
Di wilayah Jawa itu, Erma menerangkan, lokasi petir terdistribusi lebih merata di daratan yang merupakan area pegunungan maupun dataran rendah. Hal ini, menurut dia, menunjukkan topografi dan interaksi sirkulasi angin darat-laut berperan lebih dominan. Seperti diketahui, di wilayah ini pula terdapat dua kilang minyak Pertamina yang baru-baru ini mengalami kebakaran hebat--diduga karena sambaran petir.
"Penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme petir di Jawa perlu dikaji lebih lanjut karena hingga saat ini penelitian petir di Indonesia masih sangat terbatas," kata peneliti di pusat riset dulu bernama LAPAN ini.
Baca juga:
Petir Bisa Bolongi Tangki Minyak Pertamina? Dosen ITB: Tak Mungkin
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.