TEMPO.CO, Jakarta - Tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menempuh jarak sekitar 1.500 kilometer dari Bandung untuk mengajarkan sebagian warga di Pulau Maratua, Kalimantan Timur, menanam sayur. Upaya kemandirian pangan wilayah itu ditantang oleh kondisi daratan karst dan keterbatasan air tanah. Rintisan pertanian tanpa lahan itu dimulai dari Kampung Payung-payung pada Oktober 2021.
Bekerja sama dengan pemerintahan setempat, tim dosen dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB yaitu Aos, Agus Dana Permana, Mia Rosmiati, dan seorang mahasiswanya, mengajarkan bertani sayur menggunakan polybag. Metode itu dinilai paling sesuai dengan kondisi tempat dan pengetahuan warga. “Kebutuhan akan sayuran tinggi, potensinya sekarang tergantung dari luar pulau yaitu Berau,” kata ketua tim Aos, Jumat 19 November 2021.
Menurutnya, Pulau Maratua merupakan lokasi tujuan wisata bahari. Sayuran yang didatangkan itu untuk konsumsi warga maupun turis. “Di sana seikat kangkung harganya Rp 15 ribu,” ujar Mia Rosmiati, anggota tim. Selain bibit kangkung, tim ikut membawa bibit sawi hijau, dan sayuran lain, termasuk aneka tanaman bumbu dapur serta buah pepaya.
Bibit yang ditanam di polybag itu awalnya ditempatkan di demplot kemudian disebar ke pekarangan 20 warga peserta. Untuk mengisi polybag itu, warga mengumpulkan tanah dari berbagai tempat. Di pulau karst itu, lapisan topsoil tergolong jarang. Sebaran lokasi tanah tidak merata dan kedalamannya pun dangkal.
Adapun jenis tanaman yang dipilih tergolong hemat air, minimal sehari disiram dua kali. “Di pulau karst, air dan tanah itu mahal,” kata Aos.
Nutrisi untuk tanamannya menggunakan pupuk organik buatan sendiri dari limbah alam di hutan. Hasilnya, sayuran seperti kangkung dan sawi hijau bisa panen lebih cepat yaitu sekitar 4 pekan.
Rintisan pertanian tanpa lahan dikenalkan tim dosen dan mahasiswa ITB kepada warga di Pulau Maratua, Kalimantan Timur, Oktober 2021. Selama ini, kebutuhan sayuran untuk warga dan turis didatangkan dari luar pulau itu. (FOTO/Dok.Tim ITB)
Kini setelah tim kembali ke Bandung, interaksi dan bimbingan pertanian terus berlanjut lewat sambungan telekomunikasi. “Pada periode berikutnya akan kita tingkatkan ke hidroponik,” ujar Aos.
Metode pertanian yang dimaksud membutuhkan listrik untuk mengalirkan nutrisi lewat pompa secara menerus. Masalahnya, pasokan listrik di Pulau Maratua belum penuh. Dari pagi hingga sore nihil setrum. “Jam 6 sore baru nyala sampai jam 6 pagi mati lagi,” kata Aos. Kabarnya baru tahun depan listrik bisa mengalir sepanjang hari.
Baca juga:
Hadapi Bajak Laut, Kapal Perang Rusia juga Gunakan Strobe Weapon