TEMPO.CO, Jakarta - Acara puncak Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Rabu 24 November 2021, menyorot kepada dampak resistensi antimikroba (AMR) yang dilukiskan sebagai pandemi tersembunyi. Sekitar 700 ribu kematian setiap tahunnya terjadi karena dampak resistensi ini.
Resistensi antimikroba disebabkan oleh penggunaan antibakteri atau antibiotik, antivirus, antijamur dan antiparasit—seluruhnya adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi mikroorganisme patogen pada manusia, hewan, dan tumbuhan—yang tidak tepat. Dampaknya, memberi ancaman yang cukup besar terhadap kesehatan global, keamanan pangan, ketahanan pangan, produksi tanaman dan ternak dan pembangunan ekonomi global.
AMR diperkirakan dapat membuat ekonomi global kehilangan hingga 6 triliun dolar AS per tahun pada 2050, atau setara dengan hampir 4 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global. Hanya dalam sepuluh tahun, lebih dari 24 juta orang akan jatuh ke bawah garis kemiskinan gara-gara AMR, terutama mereka yang berada di negara berkembang.
Meningkatnya angka kemiskinan tentu akan meningkatkan angka kelaparan dan kekurangan gizi. Hal ini menunjukkan bahwa AMR dapat menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDG), khususnya tujuan kedua, yakni mewujudkan dunia tanpa kelaparan.
Saat ini, resistensi antimikroba dinilai tengah melonjak pada tahap yang mengkhawatirkan di berbagai belahan dunia. AMR menghambat pengobatan penyakit infeksi menular seperti pneumonia, tuberculosis, sepsis dan gonorea pada manusia. Demikian pula dengan penyakit infeksi pada hewan, khususnya ternak yang menjadi semakin sulit atau bahkan tidak mungkin untuk diobati, ketika antibiotik menjadi kurang efektif.
“Untuk sektor pertanian, peternakan dan kesehatan hewan, AMR menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan ketahanan pangan, selain tentunya mengancam pengembangan kesehatan hewan yang berkelanjutan,” kata Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam sambutan yang disampaikannya secara virtual pada Rabu, dan dibagikan secara tertulis.
Syahrul memastikan, sektor pertanian akan sulit untuk menahan ancaman dari AMR sendirian. Untuk itu, dia mengungkap komitmen untuk bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk meningkatkan kapasitas sektor pertanian dalam mengelola risiko resistensi antimikroba, “dan membangun ketahanan terhadap dampaknya.”
Diakui, antimikroba memiliki peran penting dalam mengobati penyakit hewan penghasil pangan (baik darat maupun akuatik/perikanan), serta tanaman pangan, yang membantu menjamin ketahanan pangan. Obat-obatan ini digunakan untuk mengobati hewan yang sakit, atau untuk mencegah penyakit menyebar luas dalam kawanan ternak, kandang maupun peternakan.
“Sangatlah penting untuk memastikan obat-obatan ini tetap efektif dan tersedia bagi sektor pertanian dan peternakan,” kata Rajendra Aryal, Kepala Perwakilan Badan Pangan dan Pertanian PBB di Indonesia.
Keterangan foto: 1. Kepala Perwakilan FAO di Indonesia Rajendra Aryal menyampaikan sambutan pada pekan kesadaran Antimikroba sedunia di Bali. Dok: Kementan dan FAO Indonesia
Hanya, penggunaannya yang berlebihan menyimpan risiko bagi sistem pangan, mata pencaharian masyarakat dan perekonomian. Selain berdampak buruk secara langsung pada hewan ternak karena penyakit hewan juga dapat secara signifikan mempengaruhi produksi pangan, ketahanan pangan dan mata pencaharian petani/peternak.
“Penggunaan antimikroba yang tidak tepat di bidang pertanian dan peternakan berkontribusi pada penyebaran AMR dan mengurangi efektivitas obat hewan,” katanya menambahkan.