TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO telah menetapkan SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, varian Omicron sebagai variant of concern pada Jumat, 26 November 2021. Varian yang memiliki kode B.1.1.529 itu pertama teridentifikasi menyebar di Afrika Selatan dan memunculkan kekhawatiran baru bagi para pakar kesehatan global.
Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020, Tjandra Yoga Aditama, menyebutkan bahwa organisasi itu telah merilis beberapa analisa mengenai varian tersebut. “Informasi WHO kemarin, 28 November, menyebutkan enam analisa tentang kemungkinan dari dampak varian ini,” ujar dia saat dihubungi, Senin, 29 November 2021.
Pertama, Guru Besar di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), melanjutkan, dari segi penularan. Menurutnya, masih belum terlalu jelas apakah Omicron memang lebih mudah menular daripada varian lain, termasuk Delta. Tetapi memang jumlah orang yang positif varian ini terus meningkat di Afrika Selatan, dan perlu studi epidemiologi mendalam tentang hal ini.
Analisa kedua adalah terkait dengan berat atau tidaknya penyakit. Tjandra menjelaskan bahwa hal itu juga masih belum terlalu jelas. Namun berdasarkan data awal, memang menunjukkan dugaan ada peningkatan pasien yang masuk rumah sakit di Afrika Selatan, meskipun harus diteliti lebih lanjut.
Selain itu, sejauh ini juga tidak ada (atau setidaknya belum ada) informasi ilmiah yang menyebutkan bahwa gejala akibat terinfeksi Omicron berbeda dengan akibat varian lain. “Memang ada laporan awal dari data mahasiswa bahwa kaum muda cenderung keluhannya lebih ringan, tapi kepastian dampak beratnya varian baru akan ada dalam beberapa hari atau minggu kedepan,” tutur Tjandra.
Namun, Tjandra mememberikan catatannya bahwa sejauh ini semua varian Covid-19 dapat menimbulkan gejala berat dan kematian, apalagi pada kelompok rentan seperti lansia, orang dengan penyakit komorbid, gangguan imunitas, dan lainnya. “Jadi sambil menunggu data ilmiah lebih lengkap maka kita harus terus waspada dan pencegahan (dengan melakukan protokol kesehatan 5M, serta vaksinasi tetap merupakan hal utama.”
Analisa ketiga, data awal juga menunjukkan bahwa varian Omicron meningkatkan risiko infeksi ulang, atau seseorang yang sudah sakit dan sembuh dari Covid-19, bisa jatuh sakit lagi. Keempat, terkait dengan efektivitas vaksin, WHO masih terus menganalisis hal itu bersama para pakar kesehatan di seluruh dunia.
Analisa kelima adalah efektivitas tes PCR yang sejauh ini masih bisa mendeteksi infeksi Covid-19, termasuk varian Omicron. Namun, penelitian masih terus berlanjut, termasuk ada tidaknya kemungkinan dampak pada rapid antigen test.
“Juga ada berita lain tentang kemungkinan Gen S yang mungkin sulit terdeteksi dengan PCR walau ada dua kelompok gen lain yang masih terdeteksi, tapi ini juga masih perlu penelitian lebih lanjut,” kata Tjandra lagi.
Terakhir, analisa keenam, Tjandra yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Jakarta itu menerangkan, adalah soal efektivitas pada pengobatan. Menurutnya, sesuai dengan Pedoman Pengobatan WHO per 24 November 2021 (dua hari sebelum Omicron dinyatakan sebagai variant of concern), Kortikosteroid dan IL6 Receptor Blockers masih tetap efektif untuk menangani pasien Covid-19 yang berat dan parah.
Tentu, kata dia, perlu analisa lebih lanjut tentang kemungkinan ada atau tidak dampaknya pada varian Omicron. Karena varian baru itu sudah ditemukan di semua lima benua di dunia. “Hal ini tentu membuat kita memang perlu ekstra waspada dan hati-hati,” ujar Tjandra.
Baca juga:
97 Persen lebih Menular, Covid-19 Varian Delta Terbukti Paling Agresif
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.