TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa negara telah melaporkan kasus infeksi Covid-19 varian Omicron, yang terbaru adalah Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020, Tjandra Yoga Aditama, membeberkan bahwa varian dengan kode B.1.1.529 itu kemungkinan dapat berdampak cukup luas.
Dia menyebutkan ada enam kemungkinan dampak terkait dengan munculnya Omicron, yakni penularan makin tinggi, kemungkinan penyakit memberat, infeksi ulang, vaksin yang digunakan, dan analisa obat anti peradangan dan badai sitokin. “Termasuk juga dampak pada pemeriksaan PCR,” ujar dia melalui pesan WhatsApp, Kamis, 2 Desember 2021.
Guru Besar di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu mengatakan Omicron memiliki mutasi spike protein di posisi 69-70. Hal itu menyebabkan terjadinya fenomena ’S gene target failure’ (SGTF) di mana gen S tidak akan terdeteksi dengan PCR lagi. “Disebut juga drop out gen S.”
Meskipun ada masalah pada gen S, tapi masih ada gen-gen lain yang masih bisa dideteksi sehingga secara umum PCR masih dapat berfungsi. Menurut Tjandra, tidak terdeteksinya gen S pada pemeriksaan PCR dapat dijadikan indikasi awal untuk kemungkinan yang diperiksa adalah varian Omicron, yang tentu perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan Whole Genome Sequencing (WGS) untuk memastikannya.
Jika kemampuan WGS terbatas, kata Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Jakarta itu, maka ditemukannya SGTF dapat menjadi semacam bantuan untuk menyaring mana yang prioritas dilakukan WGS. “Tentu selain kalau ada kasus berat, atau ada klaster, atau ada kasus yang tidak wajar perburukan kliniknya, dan lainnya,” tutur Tjandra.
Sedangkan jika di suatu daerah ditemukan peningkatan sampel laboratorium yang menunjukkan SGTF, maka ini mungkin dapat menjadi suatu indikasi sudah beredarnya varian Omicron.
Mantan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Kementerian Kesehatan itu juga mengingatkan bahwa informasi itu cukup penting dan diharapkan bisa menjadi perhatian bagi penanganan Covid-19 di Indonesia dalam menganalisa hasil PCR yang setiap hari dilaporkan jumlah pemeriksaannya.
“Artinya jangan hanya jumlah total saja, tapi apakah ada peningkatan SGTF atau tidak,” kata dia sambil mengingatkan bahwa jumlah pemeriksaan WGS di Indonesia memang masih perlu ditingkatkan.
Dari data GISAID sampai 1 Desember 2021, Indonesia memasukkan 9.265 genome sequencing, sementara Singapura sudah memasukkan 10.151, Afrika Selatan dengan penduduk tidak sampai 60 juta memasukkan 23.917, serta India sudah memasukkan 84.296.
“Penduduk Indonesia seperempat penduduk India, jadi jika India sekarang sudah memeriksa lebih 80 ribu sampel, maka seyogyanya kita harusnya dapat juga sudah memeriksa sekitar 20 ribu sampel.” ujar Tjandra.
Baca:
Bos Moderna Sebut Vaksin yang Ada Jauh Kurang Efektif Atasi Varian Omicron
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.