TEMPO.CO, Jakarta - Muntahan abu vulkanik Gunung Semeru hingga membuat langit di Lumajang tampak gelap, Sabtu sore, 4 Desember 2021, berdampak luas. Di antaranya, bagi atmosfer lokal, dapat mempercepat proses pembentukan awan-awan yang biasanya terjadi karena pengaruh topografi gunung.
Percepatan proses sekitar 2-3 jam pertumbuhan awan menjadi awan badai cumulonimbus juga dapat terjadi. “Serta dapat menimbulkan hujan sore hari dengan puncak intensitas yang lebih lama dibandingkan tanpa terjadi letusan,” kata Erma Yulihastin, peneliti klimatologi Pusat Riset dan Teknologi Atmosfer, BRIN, lewat keterangan tertulis, Minggu 5 Desember 2021.
Kondisi itu, menurutnya, pernah terjadi saat Gunung Pinatubo di Filipina meletus pada 15 Juni 1991. Setelah kejadian letusan gunung itu, pada sorenya, para peneliti menemukan sejumlah hujan badai terbentuk di wilayah sekitar pegunungan. Letusan disebut telah mengubah atau memodifikasi proses mikrofisika di dalam sistem awan menjadikannya lebih cepat dan kuat.
Berdasarkan rilis Darwin VAAC (Volcanic Ash Advisory Center) dan deteksi dari satelit Himawari-8, sebaran kepulan abu vulkanik dari erupsi Semeru memiliki dua ketinggian, yaitu 30 ribu kaki atau sekitar 9,14 kilometer dan 50 ribu kaki atau sekitar 15,2 kilometer. Menurut Erma, abu vulkanik setinggi 9 kilometer diprediksi bergerak ke arah barat daya, sedangkan yang setinggi 15 kilometer bergerak ke arat barat.
Dampaknya pada komposisi atmosfer diantaranya meningkatkan kondisi aerosol di lapisan troposfer lapisan menengah dan atas. “Untuk jangka sangat panjang dapat menyebabkan pendinginan karena penurunan temperatur di atmosfer sehingga dapat menimbulkan perubahan iklim,” ujar Erma.
Arah sebaran abu vulkanik lebih banyak menuju ke lautan di selatan Jawa, sementara saat ini juga ada potensi potensi pembentukan pusaran angin skala meso atau meluas di Samudera Hindia selatan Jawa. Kondisi ini, menurut Erma, dapat semakin meningkatkan proses pembentukan awan konvektif.
Citra satelit pergerakan abu vulkanik (dalam kurva kuning) Gunung Semeru yang meletus Sabtu siang, 4 Desember 2021. Foto : BMKG
“Karena serpihan abu vulkanik yang teraduk di atmosfer secara sempurna dapat terbentuk menjadi aerosol yang merupakan inti kondensasi awan,” kata dia menerangkan.
Perlu waktu yang panjang bagi abu vulkanik untuk berproses sebagai inti kondensasi awan. Namun jika sebaran abu vulkanik pada ketinggian sekitar 9 kilometer dipercepat oleh penguatan angin karena efek pusaran vorteks, kata Erma, kemungkinan dapat memperparah sistem badai yang sudah terbentuk.
“Sistem badai vorteks di selatan Jawa mungkin akan bertahan lebih lama jika ada aerosol dari abu vulkanik yang masuk ke dalam sistemnya.” ujarnya.
Menurut Erma, hal lain yang perlu diwaspadai dari maraknya pembentukan garis badai (squall-line) belakangan ini yaitu dampaknya yang dapat memicu cuaca ekstrem berupa peningkatan intensitas hujan di Jawa. Khususnya wilayah Jawa Timur pasca-erupsi Semeru. Peningkatan curah hujan tersebut dapat menimbulkan dampak banjir lahar dingin di sejumlah aliran sungai.
Baca juga:
Jet Tempur F-35B Gagal Terbang dan Nyemplung ke Laut, Lupa Buka Tutup Mesin?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.