Jacoba Nugrahaningtyas Wahjuning Utami
Dokter Jacoba Nugrahaningtyas Wahjuning Utami ekstra hati-hati menyuntikkan vaksin Sinovac ke tubuh seorang penyandang disabilitas tuli di Gedung Serbaguna Puri Dwipari pada September lalu. Penyandang disabilitas itu datang tanpa pendamping saat vaksinasi dosis pertama. Tak mau terjadi hal yang membahayakan, melalui bantuan panitia vaksinasi, Dokter Tyas, panggilan akrab Jacoba, berkomunikasi dengan penyandang disabilitas itu.
"Saya harus pastikan dia tidak alergi terhadap obat," kata Tyas saat ditemui kembali di Kantor Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, 9 Desember 2021.
Pada hari yang sama, dosen Program Studi Fisioterapi di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta itu juga menangani satu keluarga penyandang disabilitas. Mereka terdiri dari seorang remaja lumpuh di tangan, ibu remaja itu disabilitas netra, dan ayahnya lumpuh di kaki. Tyas memastikan satu keluarga tersebut tidak resisten terhadap obat atau cairan yang masuk ke tubuh mereka sebelum memberikan vaksin Covid-19.
Satu keluarga difabel itu menjadi bagian dari seribu peserta vaksinasi yang diselenggarakan perkumpulan dan organisasi bernama Sentra Vaksinasi untuk Warga. Targetnya, para penyandang disabilitas, tunawisma, transpuan, anak jalanan, pekerja seks, dan penduduk miskin di bantaran Kali Code yang sebelumnya tak tersentuh vaksin Covid-19. Kebanyakan tak bisa divaksin karena tak punya KTP.
Di antara kelompok-kelompok masyarakat tersebut, Tyas mengaku vaksinasi terhadap puluhan pekerja seks yang datang dari lokalisasi Bong Suwung Kota Yogyakarta memberi tantangan tersendiri. Dia menemukan sebagian pekerja itu menderita tekanan darah tinggi. Hipertensi, menurut dia, bisa dipicu oleh alkohol.
Tyas tidak berani memvaksin mereka sekalipun para pekerja seks tersebut seluruhnya ingin cepat-cepat divaksin. Namun Tyas kukuh tidak menyuntik bila menemukan tekanan darah masih tidak sesuai ketentuan. Beberapa akhirnya dibatalkan mendapatkan vaksin.
Dokter yang bekerja di klinik PKBI sejak 1999 ini paham tidak mudah untuk pekerja seks mengikuti vaksinasi. Tekanan darah itu, menurut dia, bisa karena mereka kurang istirahat dan kurang tidur. Di pinggiran rel kereta api di dekat Stasiun Tugu, pekerja seks dari Bong Suwung yang menjadi peserta vaksinasi hari itu bekerja selepas magrib hingga subuh keesokan hari. “Tak ada waktu istirahat untuk mereka.”
Hingga pemberian dosis kedua, Tyas bertugas sebagai koordinator tim kesehatan vaksinasi kelompok rentan bersama dua dokter lainnya yakni dokter Hamim dan Denise. Di sela menyuntik, ketiganya memberikan informasi kalau para peserta bisa menuju meja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Panitia melibatkan dinas tersebut untuk membantu peserta vaksinasi yang tak punya KTP.
“Untuk mendapatkan sertifikat vaksin, semua orang harus memiliki nomor induk kependudukan,” kata Tyas.
Bagi Tyas, menjadi vaksinator bagi orang-orang yang terpinggirkan adalah panggilan jiwa. Di klinik PKBI, perempuan berusia 54 tahun ini telah biasa melayani pekerja seks dan transpuan yang memeriksakan kesehatan reproduksi. Sepekan dua kali, dia menghabiskan waktunya di klinik itu. Selain mengajar, sehari-hari alumnus S2 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini bekerja di klinik Unit Kesehatan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 6 Yogyakarta.
Penggagas Sentra Vaksinasi untuk Warga, Budhi Hermanto, mengatakan panitia menunjuk Tyas sebagai koordinator karena dianggap memahami cara kerja vaksinasi, efek samping, dan manajemen tim. "Dokter Tyas juga memiliki interaksi yang baik dengan kelompok marjinal pengakses layanan kesehatan klinik PKBI," kata Budhi.
Dokter Jacoba Nugrahaningtyas Wahjuning Utami atau Dokter Tyas di kediamannya, Yogyakarta, 22 Desember 2021. Arnold Simanjuntak
Nia Viviawati, peserta vaksinasi, mengaku tak ada hambatan yang berarti dalam proses vaksinasi itu. Ketua Komunitas Arum Dalu Sehat Bong Sehat itu datang bersama 34 pekerja seks dan pemulung. Nia dan teman-temannya memilih vaksinasi jaringan masyarakat sipil tersebut karena terbiasa berinteraksi dengan PKBI. Keterbukaan para tim dan vaksinatornya itulah yang membuat mereka nyaman.
Buat Nia, sentra vaksinasi itu membantu pekerja seks yang selama ini kesulitan mengakses vaksin di pusat kesehatan masyarakat. Sebagian dari pekerja takut datang ke puskesmas karena stigma. Beberapa pernah memberanikan diri mendaftar vaksinasi di sejumlah puskesmas karena ada 11 rekannya yang meninggal dengan gejala mirip Covid-19. Sayang, kesadaran untuk mendapatkan dosis vaksin itu tak bersambut. Mereka tidak pernah mendapatkan undangan di hari pelaksanaan vaksinasi.
"Kalau PKBI meyakinkan kami kalau keselamatan yang utama. Vaksin dahulu sembari urus KTP," kata Nia.