TEMPO.CO, Jakarta - Keberadaan taman dan pepohonan tak menjamin sebuah permukiman atau kota bersih dari polusi dan udaranya sehat untuk dihirup. Ini nyata dari data yang dipaparkan sebuah startup Nafas, penyedia aplikasi pengukur kualitas udara.
"Pepohonan tidak bisa memfilter jenis polusi partikel debu halus PM 2,5,” kata Piotr Jakubowski, Co-founder & Chief Growth Officer Nafas, pada acara media briefing berjudul 'Nafas Air Quality Report 2021' pada Rabu 3 Maret 2022. Partikel debu halus berukuran diameter kurang dari 2,5 mikrometer ini memang berkembang menjadi sumber polusi udara yang mengancam kesehatan manusia.
Baca juga:
Startup Nafas telah mengukur kualitas udara di Jabodetabek, Yogyakarta, Bali, Surabaya dan Bandung sepanjang Januari-Desember 2021. Sebanyak 160-an sensornya tersebar di lima wilayah itu, di antaranya di kawasan Bumi Serpong Damai, Cibinong dan Sentul City. Ketiganya dianggap sebagai area yang masih relatif hijau di kawasan Jabodetabek.
Namun data Nafas menunjukkan, indeks kualitas udara (AQI) di ketiga kawasan tersebut cukup tinggi, di atas 100. Angka AQI di atas 100 menunjukkan kualitas udara relatif tidak sehat bagi kelompok usia tertentu. “Itu menunjukkan ketiga daerah tersebut tidak bebas dari polusi,” kata Piort menunjuk biang keladi berupa konsentrasi debu halus di udaranya yang mampu terhirup jauh ke dalam sistem penapasan hingga terperangkap dalam paru-paru, dan bahkan larut dalam darah, itu.
Ia membandingkan dengan sensor di lokasi Kuningan dan Kebon Jeruk di pusat Jakarta yang dikelilingi oleh bangunan dan riuhnya transportasi. Pada data Juni-Desember 2021, Kuningan dan Kebon Jeruk justru memiliki kualitas udara yang lebih baik daripada BSD dan Cibinong.
Tangkapan layar aplikasi nafas yang digunakan untuk memantau kualitas udara. Aplikasi ini telah didukung jaringan sensor di Jabodetabek, DIY, Bali dan yang terbaru pada Oktober 2021 ini di Bandung dan Surabaya (https://nafas.co.id/)
Piort menuturkan, polusi udara PM 2,5 sangat dipengaruhi oleh pergantian musim. Saat musim kemarau PM 2,5 tinggi dan rendah di musim hujan. Peran signifikan dari musim terhadap perubahan kualitas udara juga tampak dari data Nafas periode Mei 2020 hingga 1 Januari 2022. Sepanjang periode itu disebutnya kualitas udara yang terukur naik-turun mengikuti pergantian musim.
“Berarti kita bisa berasumsi sebentar lagi kita akan memasuki tren kualitas udara buruk,” katanya merujuk musim kemarau yang menjelang di Indonesia.
Manfaat hujan lebat dan angin kencang
Berdasarkan data yang dimilikinya pula, Pioter menerangkan, intensitas angin dan hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya perbaikan kualitas udara secara signifikan di suatu wilayah. Tanpa adanya hujan, kecepatan angin dapat menurunkan polutan secara signifikan. Namun, tanpa angin, hujan tidak dapat membersihkan polutan secara efisien.
Piotr mengutip Smart Air, 2020, yang menyatakan angin lebih baik daripada hujan dalam menurunkan tingkat polusi udara. Adanya hujan dapat menurunkan polusi 8,71 persen. Sedangkan, angin dapat sampai 66 persen. "Kualitas udara semakin membaik ketika terjadi hujan besar yang disertai angin kencang hingga ekstrem," kata Prabu Setyaji, data scientist di Nafas menambahkan.
Jaletreng River Park merupakan pedestrian yang berada di kawasan Hutan Kota 2 BSD, Tepatnya, berada di Jalan Letnan Sutopo, Ciater, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, Kamis, 14 Oktober 2021. TEMPO/ Dwi Nur A. Y
Tentang peran pepohonan, Piotr merujuk studi David J. Nowak et.al (2013). Hasil studi Nowak, kata dia, menunjukkan penanaman pohon di 10 kota Amerika Serikat dengan tingkat PM 2,5 yang tinggi tidak signifikan mengurangi polutan tersebut, yakni hanya sebesar 0,05-0,24 persen setahun.
Berdasarkan data-data dan temuan Nafas tersebut, menurut Piotr, keliru apabila kebijakan pemerintah daerah di Indonesia memperbaiki kualitas udara hanya dengan cara menanam banyak pohon. Perlu ada cara yang ditempuh untuk mengurangi sumber dan emisi partikel PM 2,5.
“Bisa dibilang penanaman pohon hampir tidak ada dampaknya mengurangi PM 2,5,” kata dia sambil menambahkan, ”Dengan kata lain tidak berdampak signifikan untuk menyegarkan kualitas udara.”
Baca juga:
Diduga Telah Dikerahkan Rusia ke Ukraina, Apa Itu Senjata Termobarik?
CATATAN:
Artikel ini telah diubah pada Jumat 4 Maret 2022, pukul 11.30 WIB. Judul semula diganti dengan harapan bisa lebih mewakili daerah lain dengan masalah serupa. Terima kasih.