TEMPO.CO, Jakarta - Hasil riset startup Nafas sepanjang 2021 menegaskan masalah mispersepsi udara pagi Jabodetabek lebih baik dibanding waktu lain. Perusahaan penyedia data hasil pengukuran kualitas udara aktual tersebut menunjukkan indeks kualitas udara Jabodetabek pada pagi antara jam 04.00-09.00 WIB pada kisaran 100-160. Angka AQI 100-150 termasuk tidak sehat untuk kelompok sensitif. Sedangkan lebih dari 150, hingga 200, tergolong tidak sehat.
Hasil riset itu berarti pagi bukan waktu terbaik untuk berolahraga seperti yang dipersepsikan banyak masyarakat di Jabodetabek. Persepsi tampak dari animo masyarakat berolah raga besar untuk waktu sekitar jam 05.00-09.00, termasuk saat pandemi Covid-19. "Justru saat itu masyarakat di Jabodetabek disarankan tidak melakukan aktivitas di luar rumah," kata Piotr Jakubowski, Co-founder & Chief Growth Officer Nafas, dalam paparannya atas 'Nafas Air Quality Report 2021' pada Kamis 3 Maret 2022.
Dia menduga mispersepsi udara pagi Jabodetabek lebih baik terbentuk karena menganggap udaranya masih terasa sejuk, kondisi lalu lintas masih sepi, dan minim polusi udara. Kekeliruan pemahaman yang sama juga disebut Piotr dengan penanaman pohon sebanyak-banyaknya untuk bisa memperbaiki kualitas udara suatu wilayah atau kawasan. Faktanya, nyata dalam laporan Nafas 2021, ada parameter pencemar udara yang tidak bisa 'dilawan' pepohonan yakni partikel debu halus atau PM 2,5.
Konsentrasi PM 2,5 di udara, Piotr menuturkan, hanya bisa dicuci oleh hujan dan angin. Selain tentu saja mengurangi emisi dari sumbernya langsung seperti dari proses industri dan pembakaran.
Prabu Setyaji, data scientist di Nafas, mengatakan bahwa kualitas udara paling baik di Jabotabek terjadi pada jam 14.00 WIB. Dia menambahkan, kualitas udaranya semakin baik ketika terjadi hujan besar yang disertai angin kencang hingga ekstrem. Tentang periode waktu itu juga sejalan dengan hasil riset polusi udara Jakarta yang pernah dilakukan sebelumnya.
Ahad: Warga berolahraga meski CFD ditiadakan di kawasan bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad, 28 Juni 2020. Bawah: Warga berolahraga saat CFD perdana di masa PSBB transisi di kawasan Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Ahad, 21 Juni 2020. ANTARA/Galih Pradipta
Prabu kemudian mengilustrasikan akan berbahaya bagi seseorang yang berumur 35-45 tahun lalu berolahraga pagi saat kadar PM2,5 lebih dari 26 mikrogram per meter kubik. Orang itu, kata Prabu, bisa berisiko mendapatkan penyakit jantung. “Bisa meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 33%,” ujarnya seraya menyebutkan ambang batas aman menurut WHO (2021) untuk PM 2,5 adalah sebesar 5 μ/m3. Indonesia mengadopsi nilai ambang 15 dan untuk 24 jam sebesar lebih dari 150,4 mikrogram per meter kubik untuk indeks kualitas udara yang tidak sehat.
Startup Nafas telah mengukur dan memantau kualitas udara di Jabodetabek, Yogyakarta, Bali, Surabaya dan Bandung sepanjang Januari-Desember 2021. Sebanyak 160-an sensornya tersebar di lima wilayah itu, di antaranya di kawasan Bumi Serpong Damai, Cibinong dan Sentul City. Ketiganya dianggap sebagai area yang masih relatif hijau di kawasan Jabodetabek.
Baca juga:
Potensi Siklon Tropis di Selatan Jawa Timur, Hati-hati Cuaca Ekstrem