TEMPO.CO, Jakarta - Dosen IPB University dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (Fema), Yulina Eva Riany, mengatakan Indonesia saat ini berada di urutan ke-7 tertinggi di dunia sebagai negara dengan jumlah kasus pernikahan anak. Yulina mengatakan posisi tersebut tidak jauh berbeda dengan beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin.
Menurut awardee Australia Alumni Grant Scheme 2021 ini, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab tingginya angka pernikahan anak, terutama di daerah Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah aktual pernikahan anak terbesar di Indonesia.
“Faktor penyebab tingginya pernikahan anak di antaranya tingkat pendidikan yang rendah, status sosial ekonomi yang rendah dan kurangnya informasi terkait dengan risiko pernikahan anak,” ujar Yulina seperti dilansir di laman resmi IPB University pada Jumat, 11 Maret 2022.
Yulina mengatakan faktor budaya juga turut mempengaruhi contohnya persepsi bahwa menikah sedini mungkin dapat meringankan beban orang tua. Terutama jika anak perempuan dapat menikah dengan pria kaya. Media sosial juga menjadi pemicu penyebaran cerita-cerita tersebut.
Yulina menekankan bahwa menikahkan anak usia di bawah 19 tahun adalah sebuah pelanggaran hukum. Hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Saya mengajak semua untuk semakin giat menyuarakan stop pernikahan anak, baik kepada remaja maupun kepada orang tua mereka,” ujarnya.
Menurutnya, hal ini sangat penting karena pernikahan anak dapat menyebabkan beragam risiko yang membahayakan. Dari aspek kesehatan, ada risiko seperti reproduksi, kehamilan bermasalah, risiko kematian ibu dan anak, risiko melahirkan anak dengan masalah prematur, stunting, atau disabilitas.
“Ada risiko munculnya permasalahan psikologi atau mental bahkan risiko sebagai korban kekerasan. Selain itu, pernikahan anak bukan sebagai suatu solusi keluar dari permasalahan kemiskinan. Justru pernikahan anak dapat menghasilkan masalah sosial ekonomi baru di masyarakat yang harus segera diatasi bersama,” tandasnya.
Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa Ciherang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat Edy membenarkan bahwa di wilayah kerjanya masih banyak kasus pernikahan anak yang harus mendapat perhatian bersama.
Kader Karang Taruna dari Desa Purwasari, Babakan, dan Ciherang pun menuturkan bahwa mereka harus bekerja keras untuk mengajak rekan-rekan remaja untuk menangguhkan proses pernikahan mereka yang masih berusia di bawah 19 tahun.
Adapun Yulina menyampaikan hal itu dalam seminar “Pernikahan Anak dan Beragam Risikonya” yang digelar Komunitas Stop Pernikahan Anak (Kosperan) dan didukung oleh Australia Awards Indonesia pada 5 Maret lalu. Peserta seminar berasal dari aktivis remaja dan karang taruna serta kader dari wilayah Kecamatan Cibungbulang dan Leuwisadeng, Bogor, Jawa Barat.
Baca juga:
Kucing Kesayangan Hamil Besar? Kenali Tanda-tanda Kucing akan Melahirkan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.