TEMPO.CO, Jakarta - Teknologi jaringan 5G di Indonesia belum berkembang seperti yang diharapkan. Teknologi ini bisa memanjakan banyak kebutuhan yang mengandalkan koneksi cepat dan mulus seperti virtual reality, metaverse, atau sekadar streaming video. Tapi, sayang, belum banyak yang bisa disediakan oleh operator jaringan untuk tujuan itu.
Ini seperti yang disampaikan President Director Smartfren, Merza Fachys, dalam webinar '5G, NFT, Kripto & Metaverse: The Next Big Things' pada Rabu, 30 Maret 2022 dan disiarkan daring. “Yang menggunakan sukses, yang menyediakan terpuruk,” kata Merza.
Menurut dia, jaringan 5G yang digembar-gemborkan sudah tersedia hari ini belum 5G yang sesungguhnya. Merza menyebut masih ada kendala diantaranya kecepatan yang masih terbatas dan juga satelit. “Bukan karena Smartfren belum menggelar 5G ya,” kata Merza sambil menambahkan, “Saat ini, di belakang 5G yang sudah bisa diakses, BTS-nya masih yang kemarin.”
Ia juga menyebut masalah spektrum frekuensi. Dia mengungkapkan kalau hari ini pemain seluler kehausan mencari spektrum karena pada masa lalu, spektrum 5G telanjur dipakai, contohnya oleh TV analog. Akibatnya, butuh waktu untuk tata ulang.
“Bagaimana mau main metaverse?" kata dia, "Main game online jadinya tertembak terus. Peluru kita pelan sih sampainya," kata Merza.
Merza juga mengeluhkan soal fiber optik. “Izinnya amit-amit,” katanya blak-blakan. Proses yang lama dan tidak murah juga menjadi sorotan Merza. Menurutnya, jika ekonomi tumbuh pesat dengan adanya 5G, pendapatan dari pajak juga pasti akan naik pesat. “Depan kena (retribusi), belakang kena (pajak). "Ya, lambat akhirnya,” kata Merza.
Bahaya NFT
Timotius Martin, CMO PINTU, menggunakan webinar yang sama untuk mengungkap misi perusahaannya yang membuka pintu untuk orang yang benar-benar mau mempelajari dunia non fungible token, metaverse dan kripto. Menurutnya, banyak orang ingin mengikuti jejak Ghozali Everyday dan berharap bisa menambah pundi-pundi dengan NFT.
Namun, Martin mengingatkan, jika kurang edukasi mengenai NFT dapat mengundang bahaya. Misalnya kemungkinan proyek bodong. Atau terlalu obsesi sehingga proyek NFT apapun dibeli.
Jonathan Benhi, CEO Populix, juga memberi masukan agar tidak salah langkah. Jonathan yang memiliki usaha costumer insight melihat saat ini orang tertarik NFT hanya karena uang. “Motivasi hanya uang. Kalau tidak riset dulu, akhirnya malah rugi,” katanya.
Ia memberi tips, lihat dulu komunitasnya karena nilainya ada di sana. Dengan kata lain, diharapkan NFT tersebut ada manfaatnya untuk pembeli.
Dalam NFT Ghozali Everyday, Martin mencontohkan, manfaat itu antara lain, "kemungkinan di waktu mendatang bisa makan malam bersama Ghozali."
Baca juga:
Begini Uang Kripto Membantu Ukraina dalam Perang Hadapi Rusia
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.