TEMPO.CO, Jakarta -Isu influencer dan buzzer ini sebelumnya sempat ramai selama gelombang protes Omnibus Law tahun 2020 silam. Pemerintah diduga kuat menggunakan jasa buzzer untuk mendukung RUU tersebut.
Perwakilan Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pihaknya tidak menggunakan layanan buzzer, tetapi hanya influencer, seperti dikutip dari Antara beberapa waktu silam.
Pernyataan Jaleswari ini menunjukkan bahwa antara influencer dan buzzer adalah dua istilah yang berbeda. Keduanya yang muncul seiring adanya media sosial ini secara sekilas memiliki fungsi yang sama. Sebagai contoh, keberadaannya disinyalir mampu menggiring opini dan mempengaruhi keputusan orang lain. Lantas, apa yang membuat mereka berbeda?
Menurut Turpins (2008), istilah buzzer berasal dari kata “buzz” yang berarti dengungan. Mengikuti definisi ini, buzzer bertugas menciptakan noise akan sebuah informasi di media sosial dengan tujuan menarik perhatian khalayak agar turut membicarakan isu yang mereka bawa. Noise yang dimaksud adalah informasi yang tidak atau belum diketahui kebenarannya ataupun hanya sekadar rumor.
Wahyuningtyas dalam jurnal berjudul “Buzzer Twitter pada Publikasi Organisasi Pemerintah: … (2017)” konkretnya mendefinisikan buzzer sebagai pihak yang memiliki kemampuan melipatgandakan pesan guna menarik perhatian khalayak dengan membangun percakapan di media sosial. Pun mereka bergerak dengan tujuan dan motif tertentu.
Buzzer biasanya adalah orang yang aktif di media sosial, memiliki jaringan yang luas, mampu menciptakan konten sesuai konteks, dan memiliki sifat persuasif.
Dikutip dari salah satu publikasi dari Centre for Innovation Policy and Governance (2017), akun-akun buzzer dapat terbentuk secara organik ataupun karena adanya permintaan pasar. Motif utama seseorang menjadi buzzer ada dua, yaitu motif sukarela dan komersial.
Sementara influencer, dari asal usul istilahnya berasal dari kata influence atau yang berarti memengaruhi. Dengan demikian, dilansir dari situs Influencer Marketing Hub, influencer adalah orang-orang yang dapat memberikan pengaruh, khususnya dapat menarik pendapat audiens. Ini terjadi sebab seorang influencer memiliki otoritas, pengetahuan, posisi, atau karena hubungannya dengan publik atau audiens.
Para influencer haruslah seorang yang memiliki ribuan atau bahkan jutaan pengikut di media sosial. Pun memiliki pengaruh dan kredibilitas yang tinggi sesuai bidangnya. Sedangkan menjadi seorang buzzer, tidak harus memiliki banyak pengikut.
Buzzer dalam sistem kerjanya, perlu menyebarkan konten secara berulang-ulang, sementara influencer tidaklah demikian. Influencer hanya cukup sekali saja menyebarkan konten yang diminta melalui akun media sosialnya.
Baik buzzer maupun influencer sama-sama berpotensi menyebarluaskan konten dan membuat sebuah pesan menjadi topik pembicaraan di media sosial.
Meski demikian, buzzer sering bekerja secara anonim dan diatur oleh agen. Selain itu, influencer memiliki citra yang lebih netral, sementara buzzer sering dikaitkan dengan hal-hal negatif, seperti hoaks, manipulasi dan akun palsu.
Baca juga: 5 Tokoh Filantropi di Indonesia, Siapa Mereka
HARIS SETYAWAN