Rencana sejumlah peneliti Jerman dan India menebarkan pupuk besi sulfat ke Samudera Selatan memancing kontroversi dari dalam dan luar negeri. Apalagi, hasil riset terbaru ilmuwan Inggris yang dipublikasikan dalam jurnal Nature, menunjukkan bahwa upaya itu kurang efektif untuk menyimpan CO2 dalam sedimen di dasar laut.
Tim ilmuwan yang dipimpin oleh Raymond Pollard dari National Oceanography Centre di Southampton, Inggris selatan, meneliti laut di sekitar Kepulauan Crozet, kepulauan di ujung utara Samudra Selatan. Aliran arus samudra menandakan bahwa laut yang berada di utara kepulauan itu kaya besi alami yang berasal dari batu vulkanis Crozet, dan menyebabkan ledakan pertumbuhan plankton yang berlangsung hingga beberapa bulan. Sebaliknya, laut di selatan Crozet miskin nutrisi sehingga ledakan plankton jauh lebih kecil dan berlangsung singkat.
Dengan membandingkan kedua zona itu, misi CROZEX adalah menemukan bukti bahwa laut yang kaya besi akan meningkatkan pertumbuhan plankton dua sampai tiga kali lipat, begitu pula penyerapan CO2. Tapi jumlah CO2 yang akhirnya tersimpan di dasar laut hanya 5-6 persen.
"Jika 100 unit karbon difiksasi oleh fitoplankton di bagian atas samudra, sekitar 90 persennya akan didaur ulang di lapisan atas itu dan hanya 10 persen yang akan tenggelam," kata Richard Sanders, peneliti senior dalam tim tersebut. "Dari 10 unit yang tenggelam, hanya satu yang akan sampai ke sedimen di dasar laut dan tersimpan di sana sepanjang masa."
Sisanya, meski akan didaur ulang di laut dalam, pada akhirnya akan terangkat kembali ke permukaan karena terdorong oleh arus laut dalam, dan karbon akan terlepas lagi. Proses ini berlangsung dalam jangka waktu yang amat panjang, antara puluhan sampai beberapa ratus tahun. Ini berarti karbon akan disimpan lama dengan cara yang berbahaya, tapi tidak permanen.
Secara terpisah, 155 ilmuwan dari 26 negara dan kelompok internasional lainnya juga mengeluarkan pendapat bahwa penyerapan karbon dari atmosfer akan membuat laut semakin asam dan membahayakan jaring makanan ekosistem laut.
Selama ini, samudra telah berfungsi sebagai zona penyangga efek perubahan iklim dengan menyerap sebagian gas rumah kaca. Ketika gas karbon dioksida itu larut, air laut menjadi semakin asam. Panel internasional yang beranggotakan pakar kelautan itu menyatakan saat ini tingkat keasaman laut meningkat begitu cepat dan mengancam kelangsungan hidup terumbu karang, kerang, dan jaring makanan laut secara umum.
Panel tersebut bukanlah kelompok pertama yang menganggap meningkatnya keasaman laut sebagai ancaman lingkungan. Sebelumnya, sekelompok pakar terkemuka yang tergabung dalam Nature Conservancy juga menyampaikan penaksiran yang sama pada Agustus tahun lalu. Tapi, laporan terbaru ini memiliki skala yang jauh lebih besar dan menyerukan aksi cepat untuk memangkas emisi karbon dioksida. "Saat ini efeknya telah terdeteksi. Ada penurunan berat kerang dan cangkangnya, serta mengganggu pertumbuhan kerangka koral," kata panel tersebut.
Kelompok itu mengatakan satu-satunya cara mengendalikan asidifikasi adalah membatasi kadar gas CO2 atmosfer di masa depan. Strategi lainnya, termasuk memupuk laut untuk mempercepat pertumbuhan fitoplankton dan menyerap gas rumah kaca, justru akan memperburuk masalah di beberapa wilayah.
TJANDRA DEWI | AFP | NYTIMES