Aedes aegypti, nyamuk yang semula hanya hidup di Afrika, juga dikenal sebagai vektor virus penyebab demam kuning dan peradangan sendi, yang disebut chikungunya. Kini serangga itu ditemukan di seluruh daerah tropis.
Kerabatnya, Aedes albopictus, menyebarkan penyakit yang sama dan saat ini mulai ditemukan di Eropa selatan. Nyamuk ini menemukan habitat baru berkat iklim yang menghangat.
Nyamuk A. aegypti pertama kali terlihat di Australia pada abad ke-19. Pada 1960-an, upaya pemberantasan nyamuk telah mempersempit daerah penyebarannya di wilayah timur laut Negara Bagian Queensland.
Untuk meneliti potensi dampak perubahan iklim terhadap spesies itu, tim ilmuwan yang dipimpin Michael Kearney dari University of Melbourne mendesain sebuah model komputer untuk mensimulasi potensi penyebarannya. Mereka meneliti keberadaan nyamuk itu di dua habitat, yaitu tangki air 3.600 liter dan satu ember berisi 20 liter air. Kedua tempat air itu diletakkan dalam kondisi temperatur berbeda. Salah satunya ditaruh di bawah naungan, sedangkan yang lain hampir tak tertutup.
Kenaikan temperatur rata-rata ternyata tidak langsung memperluas daerah jelajah nyamuk. Namun, perubahan perilaku manusia yang beradaptasi dengan pemanasan global-lah yang harus diperhitungkan. "Di kota-kota besar dan kecil di Australia, dampak utama perubahan iklim adalah makin jarangnya hujan yang turun, sehingga menyebabkan peningkatan jumlah tempat penyimpanan air rumah tangga dan berbagai bentuk tempat penyimpanan air lainnya," kata Kearney.
Air yang tak bergerak dalam wadah terbuka merupakan tempat ideal bagi nyamuk untuk meletakkan telurnya. Jika kondisi terlalu dingin atau kering, telur tidak akan berkembang menjadi larva. "Efek tak langsung dari perubahan iklim melalui adaptasi manusia ini akan semakin memperluas wilayah jelajah nyamuk secara dramatis," kata Kearney.
TJANDRA | AFP