Di pantai Berkat tak jauh dari hutan habitat primata, kata Mateus, sudah dijadikan logpond untuk penumpakan kayu bulat hasil tebangan oleh perusahaan kayu. Puluhan kayu gelondong kini sedang ditumpuk ke atas kapal ponton akan dibawa ke luar pulau. “Saya sangat sedih, sebentar lagi pasti akan ditebang, entah ke mana primata-primata itu akan pergi, mereka bisa lebih mudah diburu,” katanya.
Saat ini di Pulau Sipora terdapat dua izin penebangan hutan yang baru dikeluarkan Balai Hutan Produksi Wilayah III di Pekanbaru. Keduanya berupa izin hutan hak milik masyarakat. Satu izin atas nama Jasa Samangilailai, pemilik lahan seluas 438,68 hektare di Desa Saurenuk, Sipora Selatan. Satu izin lagi atas nama Aser Sababalat, pemilik lahan seluas 243 hekatre di Desa Tuapeijat, Sipora Utara.
Di pulau Siberut, pulau terbesar di Mentawai, juga ada rencana pemberian satu izin baru HPH (Hak Pengusahaan Hutan) seluas 44.907 hektare kepada PT Bumi Alam Sikerei. Padahal di Siberut masih beroperasi HPH PT Salaki Suma Sejahtera di Siberut Utara seluas 47.609 hekatare dan pada 2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPH HK-HTI) untuk PT Biomass Andalan Energi. Hutan Tanaman Industri ini menempati areal seluas 19.876,59 hektare di Siberut tengah.
Data populasi primata
Satu-satunya kawasan konservasi untuk perlindungan primata di Kepulauan Mentawai hanya di Taman Nasional Siberut seluas 190.000 hektare di bagian barat pulau dan sedikit hutan lindung di beberapa tempat di Pulau Siberut, Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan dan Pulau Sipora seluas total 7.670 hektare. Diperkirakan populasi primata endemik di Kepulauan Mentawai sudah jauh merosot dibandingkan data survei terakhir yang pernah dilakukan 16 tahun lalu.
Saat itu, mengutip data yang dihimpun IUCN, untuk tiga jenis primata endemik yang berstatus Critically Endangered, Joja adalah yang paling sedikit. Jumlah individunya diperkirakan tersisa 300 hingga 1.200 saja. Bokkoi pagai
diperkirakan tinggal 2.100-3.700 individu, sedangkan Simakobu diperkirakan 6.700-17.300 individu. Untuk Bilou, Bokkoi siberut dan Joja siberut yang bersatus Endangered, masing-masing, sempat terdata 20-25 ribu, 17-30 ribu, dan 17.384 individu.
Peneliti primata dari Swara Owa di Yogyakarta, Arif Setiawan, menyatakan khawatir datanya terkini telah jauh berkurang. “Saat perusahaan mulai menebangi pohon yang besar dan kecil, primata ini akan kehilangan potensi makan, tempat berlindung, tempat berayun, dan makanan, tidak satu pun primata yang bisa hidup di situ lagi,” katanya.
Menurut Arif, spesies utama yang paling terkena dampak adalah Bilou dan Simakobu, karena keduanya sangat bergantung pada tegakan pohon yang paling tinggi. Bilou tidak pernah turun ke lantai hutan seperti tiga primata lain. Kalau tegakan hutan dibuka, akan menghambatnya untuk berpindah ke pohon lain dan akan lebih gampang diburu.
Bilou primata endemik Mentawai di Siberut. (Febrianti/Tempo)
“Meranti itu pohon penting bagi Bilou, di pohon itu biasanya ada liana seperti pohon ara yang menjadi favorit Bilou, karena buah ara adalah makanannya. Bilou akan tinggal di kanopi paling atas, tajuk pohon yang rimbun untuk berlindung,” ujarnya.
Ia menyayangkan belum adanya regulasi yang melindungi primata-primata endemik tersebut di luar kawasan konservasi di Kepulauan Mentawai. “Padahal empat primata endemik itu jumlahnya di luar kawasan Taman Nasional Siberut tinggi, tapi ancaman kepunahannya juga paling tinggi,” ujarnya.
Dampak UU Cipta Kerja