Dalam sebuah studi tentang seragam Olimpiade, sejumlah antropologis di Durham University, Inggris, menemukan bukti bahwa dalam pertandingan yang berimbang di Olimpiade 2004, 60 persen atlet tinju, taekwondo, gulat--baik gaya bebas maupun Greco Roman--yang mengenakan seragam merah akan mengalahkan pemain berkostum biru. Para ilmuwan beranggapan bahwa seragam merah memberi efek yang sama bagi atlet seperti apa yang terlihat pada binatang, yaitu tanpa disadari menyimbolkan dominasi.
Efek lain yang juga primal terungkap pada sebuah studi yang dilakukan oleh Andrew Elliot dari University of Rochester pada 2008. Lelaki itu menganggap foto perempuan dengan latar belakang merah atau mengenakan pakaian merah lebih menarik dibandingkan perempuan dengan background warna lain, tanpa memandang apakah perempuan dalam foto itu lebih cerdas atau disukai.
Ada pula studi pesta cocktail yang dilakukan oleh sekelompok desainer interior, arsitek, dan ilmuwan warna korporat. Mereka membuat sebuah ruangan yang didekorasi layaknya sebuah bar minuman dalam warna merah, biru, dan kuning. Mereka menemukan bukti bahwa lebih banyak orang yang memilih ruangan merah dan kuning, tapi orang yang berpesta dalam ruangan biru tinggal lebih lama. Tamu di ruangan merah dan kuning juga lebih aktif dan sosial. Meskipun tamu di ruang merah dilaporkan merasa lebih haus dan lapar dibandingkan yang lain, justru tamu di ruangan kuning yang makan dua kali lebih banyak.
Pengaruh warna yang kuat terhadap suasana hati terjadi karena banyak orang mengaitkan warna merah dengan berbagai hal yang problematik, semisal keadaan darurat atau nilai merah dalam tes yang gagal. Asosiasi bahwa merah adalah berhenti, api, alarm, peringatan, dapat diaktivasi tanpa kesadaran orang tersebut. "Hal itu kemudian mempengaruhi apa yang mereka pikirkan atau lakukan," kata John A. Bargh, dosen psikologi di Yale University. "Biru terlihat memberikan efek yang lebih lemah dibandingkan merah. Tapi langit biru atau air biru adalah tenang dan positif, dan begitulah efek terhadap suasana hati yang dihasilkannya."
Meski demikian, Norbert Schwarz memperingatkan bahwa efek warna mungkin tidak dapat diandalkan atau tidak signifikan. "Dalam beberapa konteks merah adalah hal yang berbahaya, dan dalam sejumlah konteks lainnya merah adalah hal menyenangkan," ujarnya. "Jika Anda berjalan menyeberangi sebuah sungai yang membeku, biru adalah hal yang berbahaya." tutur Schwarz.
Dr Elliot dari University of Rochester mengatakan asosiasi biru dengan emosi positif dianggap kurang konsisten dibanding asosiasi merah dengan mood negatif. Efek warna juga ditentukan oleh apakah warna itu mendominasi pandangan seseorang, misalnya pada layar komputer, atau hanya bagian dari apa yang dilihat orang. Dr Elliot mengatakan bahwa dalam studi yang dilakukan oleh tim Science, kecemerlangan atau intensitas warna mungkin juga memberikan efek tersendiri.
Beberapa studi kognitif sebelumnya tidak menemukan pengaruh warna terhadap kinerja. Hanya satu studi yang menyatakan bahwa pelajar mengerjakan ujian dengan lebih baik pada kertas biru daripada merah. Tapi Schwarz mengatakan studi itu menggunakan warna biru yang menyedihkan dan merah yang riang.
Studi yang dilakukan oleh jurnal Science menyimpulkan bahwa merah membuat orang lebih waspada dam berorientasi pada detail. Hal itu sama dengan penemuan Dr Elliot bahwa peserta tes yang diperlihatkan sampul merah sebelum mengikuti tes inteligensia memperoleh hasil yang lebih jelek daripada mereka yang diperlihatkan warna hijau atau netral.
Pada tes yang berbeda, orang yang menerima sampul merah juga memilih pertanyaan yang lebih mudah. Dibandingkan dengan tugas mengoreksi naskah atau memori yang disodorkan Dr Juliet Zhu, tes IQ membutuhkan proses berpikir yang lebih berat.
TJANDRA | SCIENCE | NYTIMES | SCIENCEDAILY