TEMPO.CO, Jakarta - Tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) turun langsung ke lokasi pencemaran Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain itu, tim memantau kondisi pencemaran dari citra satelit.
“Hasil foto satelit yang diambil Tim ITB menunjukkan bahwa fenomena pencemaran terjadi dalam kurun waktu pendek dan sudah tidak terlihat satu minggu dari puncak kejadian,” kata Prayatni Soewondo, pakar dari Rekayasa Air dan Limbah Cair, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, Selasa 14 Juni 2022.
Menurutnya, pada 24-30 April 2022 terjadi fenomena pencemaran laut di Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat. Wujud pencemaran itu dari kejauhan terlihat seperti gurun pasir. “Luasnya lebih dari 10 hektare,” ujar Prayatni dalam jumpa pers di ITB.
Berdasarkan pantauan data satelit, pada 24 April 2022 belum terlihat jelas buih pencemaran. Baru pada kurun 25-26 April, mulai muncul buih hingga puncaknya pada 27 April. Buih mulai berkurang pada 29 April hingga hilang keesokan harinya.
Tim dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB melakukan penelitian lapangan pada Kamis, 28 April 2022. Berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mereka mengambil sampel pencemaran di lima titik. Tim di lapangan juga dibantu oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Bima dan perwakilan dari Pemerintah Kota Bima.
Prayatni mengatakan, karakteristik pencemaran di Teluk Bima saat itu merupakan limbah yang berbau, berupa busa dan buih yang mengental berwarna kecoklatan. Adapun ketebalan buihnya ada yang mencapai hingga 10 sentimeter dan tidak mudah terbakar. “Kapan dia muncul dan hilangnya masih jadi pertanyaan, tim baru tahu mekanisme kemunculannya,” kata Prayatni.
Menurutnya, fenomena buih terjadi saat komponen air laut yang terdiri dari garam, air, protein, lemak, ganggang mati, deterjen, polutan lain, dan bahan organik serta anorganik lainnya, diganggu oleh angin dan ombak. Buih yang berwarna kecoklatan sering disebabkan oleh fitoplankton. Untuk memastikan kandungan buih itu, tim perlu melakukan pengujian lebih lanjut. Sementara pengujian laboratorium memperlihatkan beberapa komponen yang melebihi baku mutu dan ditemukan alga golongan Diatom.
Tim peneliti mengelompokkan indikasi sumber pencemaran menjadi tiga, yaitu limbah domestik, pertanian dan perikanan, serta logistik minyak. Selain sumber pencemaran itu, faktor lain terkait dengan kondisi geografis Teluk Bima, pola aliran arus laut dan angin, serta pemanasan global.
Dari data yang dikumpulkan tim riset, populasi penduduk Kota Bima pada 2020 sebanyak 155.140 orang. Sementara Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja atau IPLT Kota Bima tidak berfungsi. Selain itu terjadi perluasan lahan area tanaman jagung dari 300 hektare pada 2016 menjadi 6000 hektare menjelang 2020. Sekitar teluk juga menjadi area tambak udang, ikan, dan garam.
Tim juga menyatakan, kondisi Teluk Bima tergolong rentan berpotensi mengalami algae blooming. Riset skala global mengenai pencemaran algae blooming di berbagai negara menunjukkan bahwa 76 persen algae blooming atau seasnot terjadi di area semi enclosed sea atau laut yang setengah tertutup.
“Dari data yang ada saat ini, pengamatan kami bahwa fenomena pencemaran Teluk Bima disebabkan oleh kegiatan multi sektoral,” ujar Prayatni. Beberapa kota dan negara mengalami kejadian serupa seperti di Washington, Belanda, dan Turki, dengan kondisi, sumber pencemaran, dan efek yang berbeda.
Baca:
Warga Terdampak Pencemaran Air dan Udara Somasi Bupati Sukoharjo