Pembakaran material organik dalam bahan bakar fosil, seperti bensin dan solar, menghasilkan energi serta melepas karbon dioksida dan senyawa lain ke atmosfer. Gas rumah kaca, seperti CO2 ini, akan memerangkap panas di atmosfer serta menghangatkan dan mengganggu iklim bumi.
Para ilmuwan sepakat bahwa aktivitas manusia telah menjadi sumber utama kenaikan kadar karbon dioksida di atmosfer sejak dimulainya masa bahan bakar fosil pada 1860-an. Sekitar 85 persen emisi CO2 yang dihasilkan manusia berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Sisanya dari pembukaan hutan dan proses industri. Penggunaan bahan bakar fosil meningkat dengan cepat, terutama sejak Perang Dunia II, dan terus bertambah secara eksponensial. Bahkan lebih dari separuh bahan bakar fosil yang digunakan manusia selama ini dikonsumsi dalam 20 tahun terakhir.
Aktivitas manusia menambah karbon ke atmosfer rata-rata 1,4 metrik ton karbon per orang per tahun di seluruh dunia. Sebelum masa industrialisasi, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer sekitar 280 parts per million (ppm). Pada 1958, konsentrasi CO2 meningkat sekitar 315 ppm, dan pada 2007 angka itu naik menjadi 383 ppm. Kenaikan ini nyaris seluruhnya berasal dari aktivitas manusia.
Saat ini para ilmuwan sanggup mengukur dengan akurat jumlah karbon dioksida di atmosfer, tapi proses yang mengatur konsentrasinya di atmosfer masih menjadi misteri. Mereka juga belum mengetahui persis dari mana seluruh CO2 di atmosfer itu berasal dan ke mana mereka pergi.
Di sinilah Orbital Carbon Observatory (OCO), satelit baru badan antariksa Amerika, NASA, berperan besar. Berkat satelit yang akan diluncurkan 23 Februari itu menggunakan roket Taurus XL dari Vendenberg Air Force Base di California, para ilmuwan bisa mempelajari magnitude dan distribusi sumber CO2 dan tempatnya mengendap.
"Ini adalah wahana pertama NASA yang secara khusus didedikasikan untuk memetakan karbon dioksida," kata peneliti utama NASA, David Crisp. Tujuan misi OCO adalah membuat penaksiran yang sedemikian tepat sehingga dapat digunakan untuk mencari sumber dan "gudang penyimpanan" CO2.
Informasi ini akan memperbaiki prediksi kenaikan CO2 atmosfer ketika penggunaan bahan bakar fosil dan aktivitas manusia terus berlanjut. Ini amat krusial untuk memahami dampak aktivitas manusia terhadap iklim dan mengevaluasi opsi mitigasi atau beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Misi satelit OCO memungkinkan para ilmuwan, untuk pertama kalinya, mencatat ukuran harian CO2, lebih dari 100 ribu perhitungan dari seluruh dunia setiap hari. Data baru ini akan memberikan wawasan baru yang amat berharga tentang dari mana gas rumah kaca itu berasal dan di mana ia disimpan.
Instrumen OCO yang amat sensitif akan mengukur distribusi CO2, membawa informasi contoh dari seluruh dunia dari orbitnya di antariksa. Meski instrumen ini tidak secara langsung mengukur emisi CO2 dari setiap cerobong asap atau kebakaran hutan yang terjadi, para ilmuwan dapat menggabungkan pengukuran konsentrasi CO2 yang bervariasi dari seluruh dunia yang diukur oleh satelit itu ke dalam pemodelan komputer.
Model komputer tersebut akan menyimpulkan di mana dan kapan sebuah sumber mengeluarkan karbon dioksida ke atmosfer. "Data Orbiting Carbon Observatory ini berbeda dari data misi lain seperti instrumen Atmospheric Infrared Sounder pada satelit Aqua NASA karena memiliki pengukuran jejak yang relatif kecil," kata Kevin Gurney, direktur di Climate Change Research Center di Purdue University di West Lafayette. "Misi ini melakukan penghitungan skala kecil, seperti kota kecil sampai sedang, bukan mengukur karbon dioksida yang dikeluarkan sebuah negara."
Pengukuran skala kecil ini memungkinkan para ilmuwan membedakan pergerakan CO2 dari sumber alami dengan gas yang berasal dari aktivitas bahan bakar fosil secara akurat. Pengukuran yang dijamin akurat ini tak lepas dari tiga spektrometer beresolusi tinggi canggih OCO yang mampu menyebar cahaya matahari yang direfleksikan permukaan bumi menjadi beragam warna. "Dengan menganalisis spektrum warna ini, para ilmuwan dapat mendeteksi gas apa yang terdapat dalam atmosfer bumi dan menghitung jumlahnya," kata Alan Buis, juru bicara Jet Propulsion Laboratory, di Pasadena, California.
Spektrometer ini secara spesifik diatur untuk mengukur jumlah refleksi cahaya matahari yang diserap oleh karbon dioksida dan molekul oksigen. "Pengukuran ini akan dianalisis untuk memperoleh perkiraan karbon dioksida atmosfer di atas wilayah di permukaan bumi seluas 1.000 kilometer persegi tiap bulan dengan akurasi 0,3-0,5 persen," katanya. "Para ilmuwan dapat menganalisis data ini menggunakan model transportasi kimia atmosfer global, sama dengan yang digunakan untuk memprediksi cuaca."
TJANDRA DEWI | SCIENCEDAILY | NASA | OCO |IHS