TEMPO.CO, Yogyakarta - Sebanyak 101 siswa dari sepuluh provinsi di Indonesia menyiapkan pameran dalam Borobudur Student Festival di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Jawa Tengah, 27 Juni-2 Juli 2022. Festival tahun ini adalah yang kedua kalinya diselenggarakan dan panitia tahun ini menggandeng komunitas seni untuk mendampingi siswa membuat karya yang akan dipamerkan di Canisio Art Center, Borobudur, tersebut.
Borobudur Student Festival mendapat sokongan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Festival dikemas dalam konsep yang ingin mendekatkan siswa dengan lingkungan, alam, dan desa tempat tinggal. Mereka yang terlibat dalam festival itu bukan hanya dari Yogyakarta dan Jawa Tengah, tetapi juga Bali, Maumere, Ternate, dan Aceh.
Konseptor Borobudur Student Festival, Soesilo Adinegoro, menyebutkan siswa bisa mempresentasikan pengalaman mereka dengan lingkungan sekitar dia tinggal dalam pameran atau festival. Soesilo mencontohkan siswa Sekolah Menengah Atas Marsudirini Yogyakarta membuat karya dari hasil riset di kampung dan workshop yang melibatkan anak-anak dan ibu-ibu.
Siswa dari Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, memamerkan gerabah dan hasil pertanian. "Siswa lebih respek terhadap orang-orang di sekitar mereka, misalnya perajin, bakul jamu, dan pengolah limbah," kata Soesilo saat jumpa pers di Bale Merapi Yogyakarta, Jumat 24 Juni 2022.
Yang membedakan festival kali ini dengan tahun sebelumnya adalah pelibatan komunitas seniman. Direktur Borobudur Student Festival, Dina Triastuti, mengatakan komunitas seniman live in di sekitar sekolah siswa peserta festival tersebut untuk mendampingi siswa, mengolah karya siswa menjadi karya yang artistik.
Dina menyebutkan 11 komunitas seni di Yogya yang mendampingi siswa sekolah, di antaranya MESS 56, Survive Garage, Ruang Gulma Collective, dan Krack. Mereka membantu para siswa selama sepekan yakni 27 Juni hingga 2 Juli 2022. "Membuat karya siswa tampil lebih berseni dan menarik," kata Dina.
Komunitas seni Krack, misalnya, membantu sekolah mempercantik batik karya mereka dengan teknik sablon. Ada juga Ruang Gulma yang membantu siswa mengolah daun kelor sebagai sumber pangan. Sedangkan siswa asal sekolah di Aceh disebutnya membuat maket tsunami.
Selain pameran, festival juga diisi dengan sejumlah rangkaian kegiatan, seperti peluncuran buku berjudul Perubahan itu Nyata: Buku Praktik Baik Pendidikan Kontekstual. Buku yang diedit oleh kolumnis pendidikan St. Kartono ini memuat 23 tulisan siswa dan 23 guru dari sejumlah daerah di Indonesia.
Buku bicara antara lain pengalaman siswa yang tinggal di kampung, pegunungan, dan pesisir. Siswa di kampung menulis tentang tradisi nyadran dan 1 Suro. Ada juga yang menulis tentang kelor sebagai sumber pangan. Dari pesisir, siswa menulis tentang pengolahan ikan tuna.
Di festival itu siswa juga berkesempatan belajar tentang sejarah dan narasi relief Candi Borobudur melalui seminar bersama Balai Konservasi Borobudur. Sayangnya, siswa tidak bisa langsung melihat keindahan relief Candi Borobudur. "Alasan teknis. Kalau hanya satu jam melihat relief kurang efektif," kata Soesilo.
Baca juga:
Fenomena Planet Sejajar Merkurius, Venus dan Lainnya: Kenapa Viral 24 Juni?