TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 30 peneliti dari berbagai bidang di Indonesia telah terpilih untuk menjalani program pelatihan kepemimpinan selama sembilan bulan ke depan yang diselenggarakan The Conversation Indonesia. Berada dalam Program bertajuk 'Science Leadership Collaborative', para peserta akan mengikuti serangkaian lokakarya dari fasilitator dan pembicara internasional.
Mereka juga akan mengikuti sesi mentoring bersama tokoh sains terkemuka dari dalam dan luar negeri, serta terlibat dalam berbagai kegiatan yang mendorong kolaborasi antar-peserta.
Prodita Sabarini, Editor Eksekutif The Conversation Indonesia, mengatakan Program 'Science Leadership Collaborative' hadir sebagai pelengkap dan penguat program-program lain bagi ilmuwan, yang dapat meningkatkan optimisme terhadap komunitas ilmiah
Indonesia. “Saya bangga dan bersyukur bahwa The Conversation dapat ikut berperan membangun komunitas pemimpin sains yang memahami pentingnya kolaborasi untuk memecahkan tantangan yang kompleks,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin 27 Juni 2022.
Selain harapan untuk melahirkan pemimpin sains di masa yang akan datang, Fito Rahdianto, Manajer Program Science Leadership Collaborative, juga berharap program ini mampu memicu lahirnya lebih banyak lagi program kepemimpinan untuk peneliti di Indonesia. Studi pendahuluan terhadap lebih dari 300 ilmuwan muda memang menemukan potensi serta ambisi peneliti Indonesia untuk menjadi ilmuwan kelas dunia belum didukung oleh pengembangan kapasitas kepemimpinan yang memadai.
Ricardo Tapilatu, Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Laut Pasifik di Universitas Papua, yang juga merupakan salah seorang peserta program SLC, membenarkan hasil studi itu. Dari kolaborasi yang pernah dijalinnya dengan berbagai individu dan mitra, Ricardo mengaku masih kurang dalam aspek kepemimpinan.
“Inilah yang mendorong saya untuk mengikuti program SLC, untuk menunjukkan bahwa peneliti dari Indonesia Timur dapat juga memimpin dan membangun kolaborasi,” kata pria pemilik gelar doktor itu
Science Leadership Collaborative disebut diklaim secara spesifik menggunakan metode terdepan dan paling mutakhir untuk mendukung perkembangan vertikal para peserta, khususnya dalam aspek kepemimpinan dan kolaborasi. Program antara lain menggunakan pendekatan seperti Leadership Development yang dikembangkan di Harvard University, AS.
Disebutkan pula landasan kerangka pemikiran Salim Ismail—ahli disrupsi dan organisasi eksponensial dari India, Barry Oshry—pelopor pemikiran sistem dari Amerika Serikat, dan Nora Bateson—pengembang teori kompleksitas dari Swedia.
Ilmuwan senior sekaligus mantan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Profesor Sangkot Marzuki menilai program SCL sebagai terobosan yang sangat baik. Dia setuju, kemampuan untuk memimpin dan berkolaborasi adalah dua hal yang perlu dibangun setiap peneliti sejak awal karirnya.
"Semoga program ini bisa melahirkan pemimpin-pemimpin sains baru di Indonesia,” katanya.
Keberagaman Peneliti
Tak hanya dari bidang keilmuan yang beragam, 30 peneliti yang terpilih juga berasal berbagai daerah di Indonesia. Sebagian mereka terafiliasi dengan universitas dan lembaga pemerintah non-kementerian, sementara sebagian lainnya merupakan
peneliti di lembaga swadaya masyarakat dan peneliti swasta.
Keberagaman ini dinilai penting untuk turut membuka jalan bagi kolaborasi lintas disiplin dan lintas sektor dalam ekosistem riset Indonesia. “Seleksi program ini telah menghasilkan sekelompok peneliti berkualitas, yang mewakili berbagai area penelitian, lembaga, serta wilayah,” kata Mizan Bisri, dosen di Kobe University, Jepang, yang juga konsultan program SLC.
Naimah Talib, kandidat doktor di University of Melbourne yang juga terpilih dalam program ini, mengatakan bahwa ilmuwan tidak hanya memerlukan suara yang lebih beragam. Tapi juga suara yang lebih keras dan kuat agar benar-benar didengar dan dianggap serius oleh para pembuat kebijakan dan politisi.
“Untuk mencapai hal tersebut, kita perlu bersatu sebagai sebuah kolektif, dan saya senang menjadi bagian dari program ini,” kata sang peneliti.