TEMPO.CO, Jakarta - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah membekukan kerja sama pengembangan Roket Sonda Dua Tingkat antara China Great Wall Industry Corporation dan eks Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional per 10 Desember 2021 lalu. Penghentian sementara dimaksudkan untuk renegosiasi kontrak kerja sama berdurasi lima tahun tersebut yang sudah sempat berjalan antara CGWIC dengan Pusat Teknologi Roket di Lapan.
Terbaru, rencana renegosiasi dinilai Badan Pemeriksa Keuangan berisiko mengalami kegagalan. BPK mencatat, rencana enam fase kontrak kerja sama dalam periode 2019-2024 itu memiliki estimasi biaya US$ 65 juta atau setara Rp 975 miliar. Sementara, setiap tahun terdapat pengadaan peralatan pada masing-masing fase dari masing-masing kontrak.
Keseluruhan peralatan tersebut saat ini tidak dalam penguasaan Lapan, namun masih berada di CGWIC Cina senilai Rp. 44.506.000.000. Ini seperti yang disebutkan dalam dokumen Exit Meeting Tim Pemeriksa dan Penyampaian Temuan Signifikan pada Lapan yang dibuat BPK pada 23 Juni 2022.
"BPK merekomendasikan kepada Kepala BRIN agar mengkaji kembali kebijakan penghentian dan renegosiasi perjanjian kerja sama dengan GWIC dan meminta pendapat kepada Dewan Pengarah untuk menentukan langkah strategis berikutnya," bunyi sebagian isinya.
Saat diminta konfirmasinya, mantan Kepala Lapan sebelum lembaga itu integrasi ke dalam BRIN, Thomas Djamaluddin membenarkan kerja sama pengembangan roket dengan Cina terakhir ditinggalkannya sedang renegosiasi. Kebutuhan negosiasi ulang, kata Thomas, terkait progres dan kemungkinan untuk diintegrasikan dengan program bandar antariksa dan program terkait lainnya.
"Peluncuran roket bertingkat memang memerlukan lokasi peluncuran yang lebih besar dan diusulkan di Biak, Papua," katanya pada Sabtu, 16 Juli 2022.
Manfaat kerja sama di mata peneliti roket
Perihal kerja sama joint development roket dengan Cina pertama diungkap Kepala Pusat Teknologi Roket di Lapan, Sutrisno, pada 21 Februari 2020. Saat itu dia menerangkan kalau pemerintah Cina setuju pengembangan bersama--bukan menjual lisensi--roket sonda bertingkat selama lima tahun ke depan per akhir 2019.
Roket Long March-2F Y12, yang membawa pesawat ruang angkasa Shenzhou-12 dan tiga astronot, melakukan lepas landas dari Pusat Peluncuran Satelit Jiuquan untuk misi berawak pertama Cina membangun stasiun luar angkasa di dekat Jiuquan, provinsi Gansu, Cina, 17 Juni 2021. Konstruksi stasiun luar angkasa dimulai pada bulan April dengan meluncurkan Tianhe, yang pertama dan terbesar dari tiga modul. REUTERS/Carlos Garcia Rawlins
Menurut Sutrisno, kerja sama akan sangat bermanfaat bagi peneliti roket Indonesia yang disebutnya masih mengembangkan teknologi asal 1960-an. Sebagai ilustrasi, dia membandingkan, kemampuan roket diameter 450 mm milik Lapan yang masih berdaya jangkau kurang dari 100 kilometer. Sementara Cina memiliki roket dua tingkat dengan diameter yang sama dan mampu terbang sampai 200 kilometer ke batas atmosfer.
Roket berdaya jangkau 200 kilometer disebutnya bisa digunakan sebagai roket sonda untuk mempelajari karakter di lapisan atmosfer. Harapannya kemampuan nanti bisa dikembangkan untuk roket sonda 300 kilometer dan seterusnya hingga bisa membuat roket peluncur satelit sesuai roadmap teknologi roket yang sudah dibuat tiga tahun lalu untuk 25 tahun ke depan.
Tentang temuan dan rekomendasi BPK, Kepala BRIN L.T. Handoko menyatakan sudah menerimanya. "Saat ini kami sudah membentuk Tim khusus untuk menindaklanjuti setiap temuan tersebut," katanya kepada Tempo.co, Jumat 15 Juli 2022.