TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi bersama elemen mahasiswa dan masyarakat menggelar aksi protes netizen di depan kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat, 22 Juli 2022. Perwakilan massa aksi memasang papan duka cita dan gembok di depan kantor Kementerian Kominfo tersebut.
Menurut Teguh Aprianto dari Periksa Data, aksi dilatari penolakan oleh lebih dari 11 ribu netizen terhadap penerapan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, dan aturan sebelumnya, Permenkominfo Nomor 10 Tahun 2021.
Penerapan regulasi yang mewajibkan seluruh PSE mendaftar ulang di kementerian ini dinilai mengancam hak warganet untuk bebas berekspresi dan menjaga privasi. Teguh memberi contoh Pasal 9 dan 14 yang mengandung pasal karet menganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat. "Ini definisinya terlalu luas dan tolok ukurnya tidak ada," kata Teguh.
Pasal itu, menurut Teguh, berarti siapapun bebas mendefinisikan dan mengartikan sesuai keinginan mereka dan itu disebutnya berbahaya. "Kita sudah melihat contoh buruk pasal karet di UU ITE. Kami takutkan akan terjadi hal sama," kata Teguh lagi.
Lalu, ia juga membahas pasal 36 yang mengatur soal permintaan data dari pemerintah ke platform penyelenggara sistem elektronik. Menurut Teguh, setiap permintaan data seharusnya mengikuti hukum internasional, yakni melalui pengadilan. "Walau itu penegak hukum tapi tanpa proses pengadilan, itu tidak bisa. Sedangkan di Permenkominfo 5 mengatur soal ini," tuturnya.
Demonstran memasang spanduk sepanjang sekitar dua meter di pagar Kementerian Kominfo. Beberapa sisi spanduk digembok ke pagar. Teguh menyatkan, aksi tidak menargetkan untuk bertemu Menteri Kominfo.
Aksi hanya untuk menunjukkan kontra netizen terhadap Peraturan Menteri Kominfo yang mewajibkan platform digital untuk menghapus konten yang diminta Kominfo atau penegak hukum dalam waktu 1 x 24 jam dan 4 jam untuk permintaan penghapusan 'mendesak'. Selain rentan disalahgunakan negara untuk membungkam suara kritis, regulasi juga dikhawatirkan akan mendorong praktek sensor konten oleh platform digital yang jelas menyalahi 'Prinsip-prinsip Manila Tentang Tanggungjawab Perantara'.
Koalisi bersama elemen mahasiswa dan masyarakat menggelar aksi protes netizen di depan kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika menolak sejumlah pasal karet dalam aturan Penyelenggaran Sistem Elektronik Lingkup Privat, Jumat 22 Juli 2022. (TEMPO/Maria Fransisca Lahur)
Protes online sudah lebih dulu berjalan melalui https://s.id/protesnetizen. Protes online ini merupakan rangkaian kegiatan publik yang disusul dengan diskusi terbuka di Twitter dengan tajuk "#BlokirKominfo" yang diikuti oleh lebih dari 14 ribu pengguna Twitter.
Sementara itu, berdasarkan laman pse.kominfo.go.id hingga hari ini, Jumat sore 22 Juli 2022, telah terdaftar 8.285 PSE lokal. Sedangkan, PSE asing sebanyak 215. Dalam keterangannya menjelang tenggat akhir daftar ulang Selasa lalu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, memastikan aturan mewajibkan pendaftaran PSE bukan untuk mengekang kebebasan berekspresi, tetapi untuk menindak pelanggaran.
Ia menyatakan aturan tersebut tak hanya diterapkan di Indonesia tetapi juga di negara lain. Selain itu, sejumlah pasal yang dianggap bermasalah dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, kata Semuel, bertujuan untuk menindak perusahaan yang melakukan tindak kejahatan. “Aturan ini untuk menindak perusahaan ilegal seperti Binomo atau DNA Robot. Aparat harus masuk karena sistem mereka melakukan kejahatan,” kata Semuel.
Baca juga:
SAFEnet: Blokir PSE Google Dkk Tantangan untuk Pemerintah Sendiri