TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Advokasi Permenkominfo 5 menyatakan menunggu janji dari Kementerian untuk merevisi isi Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Koalisi menyoal beberapa pasal di dalamnya yang dinilai karet dan berpotensi digunakan penguasa untuk membungkam kebebasan berekspresi dan memasuki privasi netizen.
Koalisi itu menggelar unjuk rasa di depan Kementerian Kominfo menolak regulasi PSE Lingkup Privat itu pada Jumat siang, 22 Juli 2022. "Kita lihat, apakah benar Kominfo mendengarkan masukan dari masyarakat?" kata Teguh Aprianto dari Periksa Data dalam unjuk rasa itu.
Menurut Teguh, aksi hari ini telah didahului protes online melalui https://s.id/protesnetizen. Protes online ini merupakan rangkaian kegiatan publik yang disusul dengan diskusi terbuka di Twitter Space dengan tajuk "#BlokirKominfo" pada Rabu lalu. Diskusi diikuti oleh lebih dari 14 ribu pengguna Twitter dan dilatari petisi penolakan yang diteken 11 ribu netizen di antaranya.
Pada acara tersebut, Teguh menambahkan, hadir perwakilan dari Kementerian Kominfo dan berjanji akan membuatkan revisi. "Kalau mereka tidak melakukan tindakan yang dikatakan oleh perwakilan berarti Kominfo omong kosong," kata Teguh sambil menambahkan kalau Koalisi sudah berkirim surat sejak tahun lalu namun tidak pernah dibalas Kominfo .
Koalisi juga mengungkap harapannya kepada platform penyelenggara sistem elektronik lokal maupun asing untuk berani menggugat balik pemerintah ketika ada aturan yang bermasalah. Kekhawatirannya adalah platform lebih mementingkan bisnisnya sehingga masyarakat yang menjadi korbannya ketika platform sibuk melakukan takedown konten menuruti permintaan pemerintah sesuai Permenkominfo 5 Tahun 2020.
Koalisi Advokasi Permenkominfo 5 memandang RUU Perlindungan Data Pribadi lebih dibutuhkan masyarakat. Apalagi marak terjadi kasus kebocoran data dan belum pernah ada hasil investigasi yang diumumkan.
"Kita tidak pernah dengar hasilnya sampai hari ini," kata Teguh, "Ada kasus penting malah tidak ditangani padahal ini yang benar-benar permintaan dari publik ketimbang mengatur cara warganya untuk bermedia sosial."
Dalam keterangannya menjelang tenggat akhir daftar ulang Selasa lalu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, memastikan aturan mewajibkan pendaftaran PSE bukan untuk mengekang kebebasan berekspresi, tetapi untuk menindak pelanggaran. Ia menyatakan aturan tersebut tak hanya diterapkan di Indonesia tetapi juga di negara lain.
Selain itu, sejumlah pasal yang dianggap bermasalah dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, kata Semuel, bertujuan untuk menindak perusahaan yang melakukan tindak kejahatan. “Aturan ini untuk menindak perusahaan ilegal seperti Binomo atau DNA Robot. Aparat harus masuk karena sistem mereka melakukan kejahatan,” kata Semuel.
Baca juga:
Gelombang Panas di Eropa Diprediksi Bertahan Sampai Pekan Depan