Orbiting Carbon Observatory atau OCO adalah sebuah satelit yang didesain untuk meneliti karbondioksida dalam skalanya yang global. Satelit senilai US$ 280 juta atau hampir Rp 3,6 triliun itu diharapkan bisa merumuskan jawaban atas beberapa pertanyaan besar tentang pemanasan global, seperti apa yang terjadi dengan gas karbondioksida begitu mereka tersembur ke udara.
Dari sana, para peneliti sebenarnya sudah berharap bisa mempertajam model-model iklim yang sudah ada. Satelit yang sama juga dianggap memadai untuk menentukan perubahan distribusi gas rumah kaca itu dari waktu ke waktu dan bagaimana separuh dari mereka selama ini bisa terserap kembali (sink) oleh hutan dan samudera.
Sayang, harapan itu buyar beberapa menit pascapeluncuran. Jelang mencapai orbit, keluar pengumuman dari NASA bahwa telah terjadi problem separasi pada modul di hidung Roket Taurus XL yang berisi OCO. Hari itu juga sudah bisa dipastikan satelit itu mendarat di tengah laut, dekat Antartika.
"Ini jelas sebuah setback," kata Neal Lane, penasihat bidang sains untuk bekas Presiden Bill Clinton. "Program NASA untuk Bumi dan lingkungannya memang kurang, dan kini benar-benar lemah."
Sepanjang 10 tahun terakhir, para ilmuwan setempat sudah mengeluh tentang lemahnya perhatian NASA untuk Bumi itu. Misi yang dibuat semakin berkurang, sedangkan satelit-satelitnya tumbuh semakin tua. Ibarat kacang yang mulai lupa pada kulitnya: lebih banyak uang yang dihabiskan badan antariksa itu untuk mengamati planet lain daripada planetnya sendiri.
"Kami memiliki sistem observasi Bumi yang sangat lemah tepat di saat kami sedang membutuhkan setiap jengkal data yang sebenarnya bisa didapat dengan mudah," ujar Elisabeth Holland, peneliti senior di Pusat Riset Atmosfer Nasional di Boulder, Colorado.
Holland, yang ikut menyusun laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) 2007, menekankan bahwa NASA telah jauh tertinggal dari Badan Antariksa Eropa untuk urusan satelit lingkungan. Jepang lewat Badan Eksplorasi Antariksa-nya bahkan sudah sukses meluncurkan Gosat, satelit sejenis OCO yang mampu mengukur kerapatan karbondioksida dan metana di hampir seluruh atmosfer Bumi, Januari lalu.
Perubahan sebenarnya sudah tersirat di internal NASA untuk mengejar ketinggalannya sejak tahun lalu ketika mulai berbicara tentang menjadi lebih "hijau". NASA juga mengisyaratkan persetujuannya untuk enam misi baru untuk observasi Bumi.
Bahkan, di Februari ini, pemerintahan baru di bawah Presiden Barack Obama menyisihkan US$ 400 juta dalam program stimulus yang dijalankannya khusus untuk kepentingan ilmiah NASA. Langkah itu dipertegas Direktur Sains NASA Ed Weiler, yang mengatakan akan mendedikasikan seluruhnya untuk Bumi (ilmu Bumi).
"Sungguh sangat disayangkan kalau musibah ini terjadi di saat kami sedang mencoba mengarahkan program-program observasi Bumi kembali ke jalurnya," kata Ruth DeFries, profesor di Columbia University, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Amerika Serikat.
Paul Palmer, peneliti dari University of Edinburgh, Inggris, yang ikut berkolaborasi untuk misi OCO, juga mengungkapkan kesedihannya. "Saya memikirkan anggota tim peneliti lainnya yang telah bekerja tujuh tahun membangun dan menguji berbagai instrumen di satelit itu."
Kini, NASA sedang mempertimbangkan untuk membuat duplikat satelit nahas itu. Palmer dan lainnya yang terlibat dalam proyek OCO mendorong itu dilakukan karena biayanya bisa lebih murah--karena beberapa pekerjaan tidak perlu diulang#dan relatif lebih cepat.
Masalahnya, sebuah program satelit lanjutan OCO yang lebih canggih dan mahal sudah telanjur direkatkan berbekal suntikan dana US$ 400 juta tadi. Pilihannya sekarang memang tinggal kecepatan atau mau yang lebih mahal sekalian, tapi berarti waktunya mundur lagi.
Jadi, setelah berkabung, NASA kini pun sedang bimbang memilih kecepatan atau aji mumpung dengan dana yang cukup besar. Weiler menyatakan, butuh beberapa pekan ke depan untuk memutuskan pilihan. Meski begitu, ia menegaskan, "Komitmen kami untuk ilmu Bumi tak akan terpengaruh."
WURAGIL | AFP | AP | BBC