Catatan dan Seruan untuk Indonesia
Dalam catatan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), ada empat keunikan dari Keputusan Komite HAM PBB dalam kasus Torres Strait Islanders. Di antaranya adalah kasus ini pertama kalinya penduduk dari pulau berdataran rendah yang rentan dampak perubahan iklim mengajukan tuntutan hukum ke Badan Traktat HAM PBB.
"Juga, kasus ini pertama kalinya negara dinyatakan melanggar HAM oleh Badan Traktat HAM PBB dikarenakan tidak memadainya upaya adaptasi perubahan iklim," bunyi bagian dari catatan itu.
Sebanyak dua catatan lainnya adalah bahwa negara dinyatakan bertanggung jawab atas emisi Gas Rumah Kaca yang diproduksi oleh negara tersebut. Juga, negara
berkewajiban mengambil langkah-langkah positif untuk melindungi hak masyarakat adat atas budaya yang terancam oleh dampak perubahan iklim.
Keduanya lalu meminta pemerintah Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk pulau yang sama rentannya, bahkan lebih tinggi, ikut mencermati putusan itu. Indonesia juga ditekankan sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ke-7 di dunia sehingga perlu mengakselerasi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya di pulau-pulau berdataran rendah yang rentan akan dampak perubahan iklim.
Baca juga:
Bencana Iklim Ancam Belasan Ribu Desa Pesisir dan Sejutaan Nelayan di Indonesia
Keputusan Human Rights Committee dalam kasus Pulau Selat Torres perlu dijadikan momentum bagi pemerintah, penegak hukum, akademisi, dan masyarakat sipil mewujudkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang lebih ambisius dan responsif. "Menunda untuk melakukan mitigasi dan adaptasi yang memadai, berpotensi untuk menimbulkan ancaman pelanggaran HAM oleh negara," kata mereka.
Berikut ini seruan yang dibuat IOJI dan ICEL dalam pernyataan bersama yang mereka buat menindaklanjuti kasus Torres Straits Islanders:
1. Untuk Pemerintah Indonesia:
perlu meningkatkan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berdasarkan kajian komprehensif tentang dampak perubahan iklim yang melibatkan masyarakat terdampak (genuine participation) dengan metode yang teruji secara ilmiah. Langkah ini perlu dikomunikasikan secara berkala dengan transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, guna menjalankan amanat Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945, Pemerintah Indonesia perlu menetapkan ekosistem karbon biru dan hutan sebagai critical natural capital yang tidak bisa dipindahkan (irreplaceable) dan tidak bisa digantikan (non-substitutable) dalam rangka menjamin pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Penetapan ini harus diiringi dengan pembentukan dan pelaksanaan instrumen dan kebijakan perlindungan lingkungan hidup yang kuat.
2. Untuk hakim:
perlu mengakomodir pertimbangan hukum terkait dampak perubahan iklim secara ilmiah, serta menghubungkan kausalitas antara HAM dan perubahan iklim dalam putusannya. Untuk itu, diharapkan hakim merujuk dan mereferensikan pada dokumen hukum relevan, salah satunya kasus Torres Straits Islanders.
3. Untuk akademisi/komunitas ilmiah:
mengarusutamakan diskursus dan penelitian terkait dampak perubahan iklim utamanya pada masyarakat terdampak langsung.
4. Untuk LSM dan masyarakat sipil:
Bersama-sama mengawal komitmen dan target perubahan iklim Indonesia, memberikan pemahaman tentang hak-hak dasar kepada masyarakat terdampak dan melakukan upaya pendampingan kepada masyarakat terdampak yang sedang membela hak-hak nya dari potensi pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang sehat.