TEMPO.CO, Jakarta - Duta Besar Indonesia untuk Inggris Desra Percaya meminta mahasiswa Indonesia jenjang doktoral atau S3 di Inggris agar tidak menyendiri dan membangun jejaring seluas-luasnya. Sebab, kata Desra, kuliah S3 adalah perjalanan panjang dan menantang.
Menurut dia, menempuh S3 di Inggris adalah sebuah kesempatan yang sangat berharga, karena sebagian universitas di Inggris masuk jajaran perguruan tinggi top di dunia. Maka itu, dia berharap agar mahasiswa dapat menggunakan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya.
“Bangunlah jejaring seluas-luasnya. Jadilah pembimbing bagi mahasiswa S1 maupun S2, agar semua dapat menyelesaikan studinya dengan baik,” ujarnya Desra yang merupakan lulusan S3 dari Durham University, Inggris dalam keterangan pers pada Ahad, 16 Oktober 2022.
Atase Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Khairul Munadi menambahkan mahasiswa Indonesia yang menempuh S3 di Inggris harus memiliki daya juang dan mampu berinovasi, karena pendidikan doktoral adalah perjalanan panjang yang sangat menantang.
“Tingkat kegagalan mahasiswa Indonesia yang mengambil S3 di Inggris sangat kecil. Hampir seluruhnya lulus dengan baik,” ucap Khairul.
Khairul juga mengingatkan mahasiswa Indonesia agar dapat membawa dampak konkret kepada masyarakat setelah menyelesaikan studi. Sebagian besar mahasiswa Indonesia yang menempuh S3 di Inggris dibiayai beasiswa Pemerintah Indonesia.
“Bangun hubungan baik dengan pembimbing kalian, itu salah satu kunci. Berkontribusilah untuk masyarakat Indonesia sesuai kapasitas masing-masing,” kata Guru Besar Universitas Syiah Kuala tersebut.
Mahasiswa S3 di Inggris Terus Bertambah
Ketua Doctoral Epistemic of Indonesian in the United Kingdom atau disingkat Doctrine-UK Gatot Subroto mengatakan jumlah mahasiswa Indonesia yang mengambil program S3 di Inggris terus bertambah. Doctrine-UK merupakan perhimpunan mahasiswa doktoral Indonesia se-Inggris Raya.
“Anggota kami mencapai 320 orang dan terus bertambah. Para mahasiswa ini menjalani studi S3 dan riset di berbagai bidang, antara lain ekonomi, sosial, kesehatan, teknik, seni budaya, dan berbagai bidang lainnya,” kata Gatot.
Gatot menjelaskan Doctrine-UK didirikan untuk membantu para mahasiswa doktoral Indonesia di Inggris. Selama ini banyak mahasiswa doktoral yang belum saling kenal, karena terlalu sibuk dengan risetnya. Padahal banyak yang topik risetnya sejenis.
Oleh sebab itu, Doctrine-UK membentuk klaster atau kelompok diskusi. Organisasi ini sudah memiliki 12 kelompok diskusi, antara lain tentang kebijakan publik, perubahan iklim, pemasaran dan bisnis, serta kajian multidisiplin.
“Doctrine-UK mengusung misi agar seluruh mahasiswa doktoral harus saling terkoneksi, berkolaborasi dan berkontribusi agar hasil risetnya bisa memberi dampak pada bangsa. Kalau kita saling bekerja sama, maka hasil riset kita lebih efisien, efektif dan memiliki dampak lebih besar,” kata Gatot.
Berdasarkan data OECD tahun 2019, jumlah doktor di negara berkembang termasuk Indonesia, masih sangat minim. Jumlah penduduk berusia 25-64 tahun di negara-negara OECD yang mengenyam pendidikan S3 rerata hanya 1,1 persen diantara populasi penduduk.
Negara dengan jumlah doktor terbanyak antara lain Slovenia, Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris. Negara-negara yang memiliki lulusan doktor terbanyak itu juga dikenal dengan negara yang unggul di bidang inovasi dan teknologi.
Baca juga:Kemendikbud Buka Pendaftaran Beasiswa Indonesia Maju ke-3 untuk Pelajar SMA
Pilihan editor:Ficusia, Film Animasi Besutan Mahasiswa Politeknik Negeri Batam yang Mendunia
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.