TEMPO.CO, Jakarta - Ancaman dari dunia maya di Tanah Air akan tetap ada karena paralel dengan kuatnya dorongan digitalisasi yang sedang terjadi di Indonesia. Atas dasar itu pula, penting fondasi keamanan siber untuk menghadang segala ancaman dan kejahatan itu.
"Sebuah studi terbaru memproyeksikan ekonomi digital Indonesia akan tumbuh senilai $146 miliar pada 2025, sebuah peluang besar yang akan terwujud dengan baik jika upaya digitalisasi dibangun di atas fondasi keamanan siber yang terpercaya dan transparan,” kata Yeo Siang Tiong, General Manager untuk Asia Tenggara di Kaspersky, Selasa 25 Oktober 2022.
Baca juga: Bjorka Kembali Beraksi, Kali Ini Kepala BSSN Jadi Target
Yeo mengungkap kalau serangan siber pada rantai pasokan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) adalah suatu hal yang patut diwaspadai. Hal ini berbahaya karena kerentanan dapat muncul pada fase apa pun, mulai dari desain hingga pengembangan, produksi, distribusi, akuisisi, dan penerapan hingga pemeliharaan.
"Selanjutnya," dia menambahkan, "Dapat mempengaruhi mulai dari sektor pemerintahan, perusahaan, dan masyarakat."
Besarnya ancaman tergambar dari Kaspersky yang telah mendeteksi sebanyak 22.886.032 ancaman siber berbeda pada komputer peserta Kaspersky Security Network (KSN) di Indonesia, hanya di enam bulan pertama 2022. Selain itu, sebanyak 1.548.716 upaya phishing telah diblokir oleh Kaspersky Anti-Phishing di Indonesia selama paruh pertama tahun ini.
Menurut Yeo, negara-negara di dunia sudah menyadari risiko dan dampak serangan siber ke rantai pasokan TIK ini untuk kemudian mengambil tindakan. Kaspersky mendesak pemerintah di Indonesia untuk berkolaborasi dengan berbagai pemerintah negara tetangga dan juga perusahaan swasta demi membangun ketahanan dan keamanan siber yang lebih baik.
Selain itu, butuh strategi keamanan siber nasional yang dapat ditindaklanjuti dan meningkatkan prosedur dan regulasi infrastruktur rantai pasokan TIK. Selain juga peningkatan kesadaran keamanan secara konstan. Yang terakhir ini termasuk keterlibatan komunitas dan pemangku kepentingan keamanan siber yang lebih luas termasuk penyedia keamanan siber untuk memvalidasi dan memverifikasi kepercayaan produk, proses internal, dan bisnis mereka
"Itu semua merupakan pilar penting yang dipegang oleh Kaspersky dan diimplementasikan dalam kerangka keseluruhan dari Inisiatif Transparansi Global (GTI - Global Transparency Initiative)."
Kaspersky juga menyarankan agar negara-negara seperti Indonesia terus mempromosikan pelatihan keterampilan serta meningkatkan kolaborasi untuk mendukung kemampuan respons insiden dan memastikan keselamatan kesejahteraan warganya. Ini karena organisasi, industri, dan pemerintah akan selalu menjadi target yang menguntungkan bagi para pelaku kejahatan siber.
Ketika sebuah negara mencapai ketahanan siber, Yeo menegaskan, masa depan digital tidak lagi menjadi dunia yang sulit dijangkau dan menakutkan, "Tetapi tempat dengan peluang pertumbuhan yang tak terbatas."
Gambaran Risiko Lemahnya Keamanan Siber di Pemilu 2024
Pratama Persadha, pakar keamanan siber dari Communication and Informatian System Security Research Center (CISSReC), setuju masalah besar adalah kesadaran akan pentingnya keamanan. “Percuma kalau punya teknologi yang bagus tapi tak menyadarinya,” kata Pratama di acara yang sama.
Eks Kepala IT KPUpada Pemilu 2014 itu memberi skor rendah atas kesadaran tersebut di Indonesia. Dari skala 1-10, dia menyebut 2 atau 3. Alasannya adalah karena hampir semua institusi, kementerian di Indonesia bisa diretas. "Kekuatannya sangat minim, Badan Siber dan Sandi Negara sekalipun,” katanya.
Baca juga: 1,3 Miliar Data SIM Card, Data Pribadi Otentik dan Masih Aktif
Termasuk KPU juga belum lama ini mengalami kebocoran 105 juta data pemilihnya. Karenanya Pratama juga mempertanyakan apakah sistem penghitungan suara KPU nanti benar-benar aman dari serangan hacker.
Dia memberi gambaran risiko jika sistem penghitungan elektronik tidak andal dan mudah diretas. Risiko itu adalah hitung ulang meliputi sejumlah besar TPS dan lembar C1. Belum lagi pemanggilan ulang saksi-saksi. "Hitung ulang itu juga butuh waktu yang bisa 3, 6 bulan,” katanya.
Belum lagi dampaknya jika sampai menyebabkan kekosongan jabatan atau kekuasaan. "Chaos bisa terjadi gara-gara sistem perhitungan suara elektronik nggak tidak aman," katanya lagi.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.